Sembilan Belas - Akal Tak Sekali Tiba

7.9K 1.2K 14
                                    

"Terkadang teman yang paling baik adalah musuh kita." Pembimbing Anak Magang yang mendapat pencerahan.

Udara sore hari menerpa wajahku. Area hijau di lantai sembilan kantor ini sepi di jam sore. Aku ingin mengirimkan pesan pada Ela, tapi ponselku tertinggal di meja. Tadi aku memang hanya berniat memanggil Mamet dan Ai. Tidak kusangka semuanya berantakan.

Setelah berhasil kabur dari Baron, aku memakai tangga darurat untuk tiba di tempat ini. Area hijau adalah sebutan untuk sepotong bagian gedung yang digunakan untuk menanam segala macam tanaman. Kebetulan saja masih dalam wilayah yang disewa oleh kantorku. Biasanya ada satu dua orang di sini. Sekadar melepas lelah dengan memandangi daun hijau atau bunga Petunia warna-warni yang banyak digantung. Tempat ini sangat rapi dan rindang.

Aku menghela napas, ketika mengingat betapa berantakannya diri ini dalam membimbing anak magang. Papa mendidikku dan Kak Ola dengan banyak peraturan. Bukan untuk mengekang melainkan agar kami hidup teratur. Sebagai seorang bankir, papa selalu berkata kalau keteraturan akan mengarahkan kami pada kesuksesan. Mungkin itu berlaku di zaman papa tumbuh tetapi aku mulai meragukan hal tersebut juga berlaku saat ini.

Kulepaskan cepolan rambut, membiarkan rambut bergelombangku tertiup angin. Rasanya lebih bebas di sini. Jauh dari semua hal yang mengganggu pikiran. Kutudungkan jemari, melindungi mata saat menatap langit cerah dengan awan berarak satu dua.

"Lo nggak berpikir untuk melompat, kan?" Suara bariton itu mengagetkanku. Untung saja ada pembatas gedung setinggi dada yang menahan tubuhku melompat ke bawah.

"Gue yang kaget malah bisa lompat ke bawah!" seruku ketus.

Baron tertawa kecil lalu ikut berdiri menatap gedung-gedung tinggi di antara kami. Gedung perkantoran kami memang tidak terlalu tinggi. Apalagi area hijau ini dibuat untuk tempat bersantai karyawan.

Kami terdiam memandang langit dan gedung untuk beberapa saat. Baron tidak mengucapkan apa-apa. Hanya diam. Lama-lama tingkahnya membuatku gerah.

"Tumben lo nggak nanya apa-apa?" tanyaku akhirnya.

"Nanti gue dikira ikut campur lagi." Laki-laki di sampingku kembali tertawa kecil. Ada sekelumit rasa bersalah karena membentaknya tadi.

Jemariku mengetuk tembok beton dalam irama yang tetap. Menimbang-nimbang apa yang ingin kubicarakan. Sekelompok burung terbang di langit, sepertinya mereka hendak pulang ke sarang masing-masing.

"Ron, gue nggak cocok ya ngebimbing anak magang?" Tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar dari mulutku. Aku langsung menyesal di detik yang sama mulutku mengatup.

"Kenapa lo ngomong kaya gitu?"

Aku tergagap saat Baron menoleh dan melihat bola mata Hershey-nya. Rambut gaya pompadour-nya yang biasa rapi mulai berantakan tertiup angin. Mendadak di mataku dia terlihat sangat tampan. Tiba-tiba saja napasku tercekat. Untungnya aku masih punya kesadaran untuk mengangkat bahu.

"Lo emang taat peraturan, Cassie. Bukan berarti itu buruk. Sekarang lo inget-inget, deh. Pas lulus kuliah apa yang lo dambain?"

"Em ... kerja?" Mataku mengerjap bingung. Kenapa orang suka sekali berbicara berputar-putar? Baron tertawa mendengar jawabanku.

"Kebebasan, Cass. Hanya saja kita lupa, di atas awan selalu ada awan lagi. Lulus kuliah, kita terjebak dalam peraturan bernama pekerjaan. Semua hal yang kita lakukan sudah dirancang dan diprogram oleh karyawan pendahulu. Anak-anak magang ini sedang dalam masa transisi. Kalau mereka sadar bahwa peraturan dibuat untuk membantu, mereka akan berterima kasih sama lo nanti."

Kebebasan, ya? Dulu memang aku bermimpi kalau bisa bebas dari jerat peraturan. Tetapi aku menyadari saat bekerja di bagian operations La Beauté. Prosedur dan peraturan yang ada adalah untuk menjamin keselamatan pelanggan dan memastikan kami bekerja dengan benar. Bayangkan jika ada yang sesuka hati mereka dalam membuat ramuan make-up. Jika ada efek negatif tentu itu akan berakibat langsung pada perusahaan.

The Differences Between Us (Completed) Onde as histórias ganham vida. Descobre agora