Sembilan - Nasi Telah Jadi Bubur

8.8K 1.3K 32
                                    

"Kalau sudah begini, ya sudah, terima saja." Pembimbing Anak Magang yang pasrah.

Aku keluar dari ruang kerja Pak Anwar dengan muram. Pertanyaan DJ di akhir rapat, dinilai lancang dan aku mendapat teguran karena dianggap tidak mampu membimbing DJ. Akibatnya pekerjaanku pun bertambah. Aku harus mengumpulkan laporan selama tiga tahun terakhir dan menganalisanya.

"Kak ...." DJ berusaha mengajakku bicara saat aku tiba di ruang kerja. Aku berjalan melewatinya untuk duduk dan langsung meminum air mineral.

"Sorry, Kak. Aku nggak tahu kalau pertanyaan tadi bisa fatal."

Aku mendiamkan anak itu karena khawatir jika bicara maka emosiku akan terlihat. Setelah duduk dengan nyaman, kutarik napas, menghitung sampai sepuluh lalu mengembuskannya perlahan.

"Saya dan DJ perlu bicara empat mata. Mamet dan Ai, boleh kalian tolong membelikan kopi atau makanan ringan di kantin?"

Mamet dan Ai pasti telah diberitahu apa yang terjadi di ruang rapat karena mereka hanya saling melirik lalu mengangguk dan beranjak keluar meninggalkanku dan DJ berdua. Kupersilakan DJ untuk duduk di hadapanku.

"Saya akan langsung bertanya daripada basa-basi. Kenapa kamu tidak bisa menahan diri, DJ? Kamu harus paham kalau para direksi itu tidak memiliki pola pikir yang sama dengan kamu."

DJ sedikit tersentak kaget mendengar suaraku yang sekarang sarat dengan emosi. Aku memang selalu merasa kalau membimbing anak magang adalah sesuatu hal yang sangat menantang. Seringkali aku tidak memahami pola pikir mereka dan terkaget-kaget saat mengetahui apa yang ada dalam otak brilian mereka.

"Maaf, Kak." Laki-laki jangkung itu menunduk.

"Sudahlah! Jangan diulangi lagi! Satu hal DJ, pikirkan baik-baik apa yang akan kamu ucapkan sebelum itu menyinggung orang lain. Sekarang tugas kamu bertambah. Saya akan membuat analisa untuk laporan penjualan tiga tahun terakhir. Tugas kamu beserta yang lain adalah membantu membuat diagram dan membuatnya lebih mudah dipahami bahkan oleh orang awam sekalipun."

Mata DJ terbelalak. Dia pasti kaget karena saat ini anak magang mulai masuk ke dalam inti project masing-masing yang pasti akan membuat pekerjaan semakin bertambah. Tetapi dia tidak membantah. Sikap DJ ini lebih lunak dibanding tadi saat ditegur oleh Pak Anwar dan dia merasa tidak bersalah telah menanyakan hal yang menyinggung dewan direksi.

"Omong-omong, tadi kamu bersikeras tidak bersalah. Kenapa mendadak berubah?" tanyaku tidak kuasa menahan rasa penasaran.

"Oh. Tadi Kak Baron ke sini. Dia nasehati aku panjang lebar."

Sudah kuduga! Baron memang tukang ikut campur nomor wahid yang mengganggu hidupku. Aku harus mengontrol mimik wajah agar tidak kelepasan mencibir Baron. Bagaimana pun wibawa harus dijaga.

"Oke. Aku akan membuat laporan kasarnya setelah itu aku akan oper ke kalian bertiga. Kamu nanti infokan ke Mamet dan Ai," putusku.

Membuat analisa laporan penjualan tiga tahun terakhir bisa menjadi pekerjaan yang membuatku lembur tiga hari tiga malam. Untunglah selama ini, aku membuat pendataan dengan rapi sehingga yang kuperlukan adalah membuat diagram dan menyusun analisanya berdasarkan TOWS atau threat, opportunity, weakness dan strenght. Analisa dengan TOWS membuat segalanya lebih terlihat dengan jelas.

Mamet jelas marah pada DJ. Dia tidak menegur DJ selama sisa hari itu. Sementara Ai terang-terangan mengeluh. Gadis itu sedang memikirkan program untuk project yang dibuatnya dan pekerjaan tambahan gara-gara DJ membuatnya kesal.

"Makanya punya otak dipake buat mikir. Lo nggak mikir apa pas nanya?" sembur Ai kesal. Dia mengetik dengan suara keras sampai aku khawatir keyboard laptopnya akan hancur berantakan.

The Differences Between Us (Completed) Where stories live. Discover now