Delapan Belas - Rambut Sama Hitam, Hati Masing-masing

7.8K 1.2K 55
                                    

"Kecewa itu boleh, tapi jangan berlebihan." – Pembimbing Anak Magang yang mencoba bijak.

Aku tahu rasanya kehilangan seorang ayah. Papa meninggal beberapa tahun lalu karena kanker tulang yang dideritanya. Selama papa sakit dan menginap di rumah sakit, aku juga kerap gelisah. Bunyi dering telepon akan membuat keringat dinginku mengucur dan kecemasan meningkat. Ketakutan akan berita kehilangan. Kak Ola bahkan sempat membawaku ke psikolog, mengira bahwa rasa takut kehilangan membuatku trauma.

Melihat DJ yang menunduk dan gelisah, membuatku teringat akan masa lalu. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang harus dilakukan untuk menghibur orang yang sedang putus asa dan sedih. Kutepuk-tepuk punggung DJ perlahan.

"Setiap orang punya ambang kesedihan berbeda. Aku mungkin nggak memahami kesedihanmu saat ini tapi aku pernah ada di posisimu. Papaku meninggal karena kanker tulang. Dulu aku juga seringkali gelisah. Setiap ada dering telepon atau pesan masuk, jantungku berdegup kencang." Aku berkata penuh simpati.

DJ terperangah menatapku. Bola mata cokelat gelapnya memandangku dengan tatapan berbeda. Tatapan yang kerap kutemui dari kerabat pasien di bangsal tempat papa dirawat dulu. Pandangan yang mengatakan kalau kita senasib.

"Gimana kakak bisa bertahan?" tanya DJ.

Aku menghela napas. Saat itu adalah masa yang berat. Mama nyaris tidak pernah ada di rumah. Kak Ola sibuk membantu mama mengurus ini dan itu di rumah atau mengurus administrasi rumah sakit. Seandainya saja waktu bisa terulang. Namun hidup bukan tentang berandai-andai dan penyesalan memang selalu ada di akhir.

"Aku melakukan sesuatu hal yang masih kusesali seumur hidup. Aku melarikan diri." Kabut memenuhi mataku. Teringat akan masa-masa suram yang ingin kuhapuskan dari memori.

"Seandainya saja dulu aku lebih sering ada di samping papa, mungkin rasanya tidak akan seperti ini. Aku baru sadar dua minggu sebelum papa tiada. Ketika penyakitnya menjadi tidak terkendali dan dokter mulai menyerah." Sekarang hidungku pasti sudah memerah.

Bayangan itu seperti hadir kembali. Papa yang semasa sehat bertubuh tinggi besar, berubah menjadi seorang laki-laki kurus dengan pipi tirus. Hanya matanya yang tetap bersinar-sinar ceria dan penuh semangat.

"Kalau aku jadi kamu sekarang ...." Kalimatku tertelan. Tidak semua orang suka digurui atau diberitahu. Kebanyakan dari mereka hanya mau didengar.

"Apa kamu mau mendengar saranku?" tanyaku mengubah kalimat. DJ mengangguk.

"Luangkan waktu sebanyak mungkin dengan ayahmu. Beri ayahmu kesempatan untuk mencurahkan cinta. Sembuh atau tidak, itu di luar kuasa kita. Tugas kita hanyalah berusaha sebaik mungkin agar dapat memberikan semangat." Aku tersenyum dan kembali menepuk bahu DJ.

Sejenak sunyi kembali melingkupi kami. DJ memainkan jemarinya yang besar. Jempolnya saja dua kali jempolku. Selang beberapa waktu, laki-laki itu mendongak dan tersenyum. Kesedihan masih ada di raut wajah yang biasanya tenang itu. Namun kegelisahan sudah jauh berkurang.

"Kurasa itu saran yang sangat baik. Terima kasih, Kak. Aku akan mencoba untuk memberi ayah semangat. Maafkan tingkahku yang menyebalkan belakangan ini." Senyum muncul di wajah DJ dan baru kusadari ada satu lesung pipi di sebelah kanan wajahnya.

"Kamu harus minta maaf pada teman-temanmu. Bukan aku," kataku sambil tertawa.

Aku membuka laci dan mengambil sebatang cokelat simpanan. Ela seringkali meledek gara-gara kebiasaan baruku menyimpan cokelat di dalam laci meja. Ini bukan karena aku suka mengemil. Sejak menjadi pembimbing anak magang, tensiku sepertinya selalu tinggi jadi aku menyimpan stok cokelat untuk menenangkan diri. Kuberikan cokelat itu pada DJ yang menerima dengan heran.

The Differences Between Us (Completed) Where stories live. Discover now