Dua Puluh Tiga - Malang Tak Boleh Ditolak, Mujur Tak Bisa Diraih

8.5K 1.1K 17
                                    

"Kita harus tetap siaga dengan segala kemungkinan." - Pembimbing Anak Magang yang resah melihat kondisi dunia.

Baron masuk dua hari kemudian. Dia sudah terlihat segar dan tidak lagi pucat meskipun aku merasa kalau dia masih memaksakan diri untuk pergi ke kantor. Aku sempat melihatnya di lobi kantor saat menuju kafe untuk rapat dengan Pak Anwar dan manajer klinik cabang. Dia sempat melambaikan tangan yang langsung kupelototi karena bisa memicu gosip lagi.

Seusai rapat, ada hal lain yang harus kulakukan. Memperbaiki hubungan dengan para anak magang. Kerjasama antara kami masih harus berlanjut sampai akhir tahun dan aku tidak ingin ada ganjalan-ganjalan lagi

Berhubung aku sudah berbaikan dengan para anak magang, aku meminta saran pada mereka apa yang harus dilakukan supaya dapat mengatasi kesenjangan antara kami. Ai menyarankan supaya aku mengikuti pelatihan tentang kesenjangan antar generasi. Jadi aku mendaftar pelatihan online. Sesuatu hal yang cukup aneh mengingat aku terbiasa hadir di pelatihan tatap muka.

Ai menemaniku saat mendaftar training online. Ternyata tidak terlalu sulit, setelah itu Mamet mengajariku cara penggunaan aplikasi online bernama Zoom. Dia menghabiskan tiga puluh menit untuk memberikan penjelasan padaku cara penggunaan aplikasi tersebut.

Berita baiknya adalah Human Capital bisa mencatat pelatihan online ini sebagai bagian dari pengembangan diriku. Setiap tahun poin pengembangan diri ini masuk ke dalam KPI atau key performance indicator, yang digunakan untuk melihat hasil kinerja tahunan dan memiliki imbas pada kenaikan gaji. Biasanya dengan metode pelatihan tatap muka, aku hanya bisa mengikuti satu dua pelatihan. Sepertinya pelatihan online ini lebih praktis.

"Jangan lupa, kalau kakak mau berdiri atau minum, kamera dimatikan dulu," ujar Mamet mengingatkan. Dia agak frustrasi karena aku lupa untuk mematikan kamera saat berdiri untuk mengambil air minum saat uji coba menggunakan Zoom.

"Kalau lupa gimana?" tanyaku.

"Yah nggak apa-apa sih sebenarnya. Cuma kalau kakak lagi ngupil kan keliatan. Memalukan! Terus itu direkam, orang bisa lihat kakak ngupil berulang-ulang." Mamet terbahak diikuti dengan tawa Ai.

Kulempar Mamet dengan kertas buram yang biasanya dipakai untuk mencorat-coret catatan selama aku menerima panggilan telepon. Anak itu tertawa sambil menghindari peluru kertas. Sejak kami berbaikan, dia sudah kembali menjadi Mamet yang berisik dan ceria. Untuk kali ini aku tidak keberatan dengan semua kebawelannya.

"Kapan pelatihannya, Kak?" tanya DJ yang baru masuk sambil membawa gelas-gelas kopi tubruk hasil racikan di pantry. Mamet mengernyit ketika melihat kopi itu. Aku harus buru-buru mengalihkan pembicaraan sebelum Mamet mengoceh tentang mesin kopi.

"Besok. Omong-omong, kantor kita akan mengadakan acara ulang tahun dua bulan lagi. Kalian nanti ikut sumbang ide, ya?"

Surel mengenai acara ulang tahun perusahaan sudah dikirimkan ke semua karyawan tadi pagi. Tema mengenai acara sudah ditentukan tetapi isi acaranya belum seratus persen siap. Setiap divisi diminta untuk mengirimkan perwakilan untuk panita dan karena para anak magang dianggap sebagai anak muda yang kreatif, ketiganya masuk ke dalam panitia.

Mamet mengeluh ketika surel itu masuk. Sekarang dia tidak hanya harus mengerjakan project pribadi dan gabungan melainkan juga mengurus acara ulang tahun kantor. Mendengar ucapanku mengenai sumbang ide, Mamet kembali mengeluh.

"Suasana kan mulai panas, Kak? Kok tetep ada rencana ulang tahun sih?" Mamet menghirup kopi yang disodorkan DJ lalu mengernyit. Dia buru-buru menambahkan gula saset ke dalam kopi. Anak bawel itu memang paling suka pedas dan paling tidak suka rasa pahit.

The Differences Between Us (Completed) Where stories live. Discover now