Dua Puluh Delapan - Angguk Bukan, Geleng Ia

8.1K 1.2K 27
                                    

"Bagaimana ya caranya tahu isi hati sendiri?" - Pembimbing Anak Magang yang galau.

Aku menghabiskan malam dengan merenung di pinggir tempat tidur dengan jendela terbuka, tidak peduli dengan nyamuk yang mulai masuk ke dalam kamar. Gigitan nyamuk tidak lebih penting dari apa yang sudah terjadi seharian ini.

Kupejamkan mata dan merasakan sepoi angin malam menyapu rambut. Aroma bunga Wijaya Kusuma yang punya nama keren Night Blooming Careus, semerbak. Bunga ini mulai bermekaran sejak pukul sembilan malam. Mama sempat sibuk mengambil foto bunga kesayangannya dan baru saja masuk ke dalam kamar. Sementara aku masih terpaku tidak bisa tidur. Semua ini gara-gara Baron.

Tadi sore, seusai rapat, Baron langsung mengajakku pergi. Dia mengambil alih ranselku yang berat karena berisi berbagai macam barang lalu berjalan lebih dulu ke arah lift. Reno yang juga mau pulang memanggilku.

"Cass, besok lo sendiri, ya? Gue harus rapat buat bahas prosedur pembelian barang selama PSBB." Reno berjalan dengan santai di sampingku sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

"Oke. Kebetulan tadi di rapat juga udah ngebahas prosedur penyimpanan barang, jadi gue besok tinggal ngecek saja." Aku mengangguk. Di depan sana, Baron sudah memasukkan angka lantai yang dituju.

"Cowok lo cemburuan banget, ya?" tanya Reno sambil terkekeh.

"Heh? Cowok gue yang mana?" Seingatku Reno tidak pernah tertarik dengan gosip kantor.

"Cowok yang lagi bawain tas lo itu." Kali ini Reno berdecak tidak sabar. Dia menunjuk Baron dengan dagunya.

"Dia bukan cowok gue," sahutku cepat.

"Oh, ya?"

Kami tinggal sepuluh langkah dari Baron yang saat ini sedang sibuk dengan ponselnya. Aku menoleh ke arah jendela gedung yang terletak antara lorong dan lift. Masih ada semburat merah sisa-sisa matahari terbenam. Selagi aku melamun sambil berjalan, tiba-tiba saja Reno menyelipkan lenganku pada lengannya.

"Woy! Apa-apaan, nih?" seruku keras sampai Baron menoleh. Wajahnya langsung mengeras saat melihat tanganku bertaut dengan Reno.

"Lo mau lihat bukti, kan? Gue kasih bukti," bisik Reno sambil tersenyum jahil.

Seharusnya aku menendang Reno atau mengomelinya saat itu. Namun aku terlanjur terpana saat langkah Baron yang panjang mendekati kami. Dia bahkan tidak peduli dengan dentang yang memberitahukan lift kami sudah tiba.

"Lo ngapain pegang-pegang Cassie?" tanya Baron sambil menatap tajam pada Reno.

"Cassie kan teman gue. Kita biasa, kok, kaya gini."

"Lepasin tangan lo dari Cassie. Sekarang!"

Reno langsung melepaskan tanganku dan mengangkat tangan. Dia tertawa menang sambil menatapku jenaka lalu mengedipkan sebelah mata dan berlalu. Wajahku langsung merah padam saat sadar apa maksud kelakuan Reno.

Baron juga sepertinya menyadari itu karena dia membuang muka dengan telinga memerah. Dia tidak mengatakan apa-apa sampai lift kembali berdentang dan kami masuk. Untunglah ini jam pulang kerja, jadi lift tidak terlalu sepi jadi aku bisa mengurangi rasa gugup yang mendadak datang.

Sampai di dalam mobil Baron pun suasana masih canggung. Begitu masuk mobil, aku buru-buru memakai seat belt supaya kejadian yang membuat jantung olahraga tidak kembali terulang.

"Sorry buat kejadian tadi. Reno lagi kumat." Aku membuka mulut lalu langsung menyesal. Seharusnya tidak kubahas lagi soal itu. Baron tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya mengangguk lalu menyetir kendaraannya.

The Differences Between Us (Completed) Where stories live. Discover now