Dua Belas - Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing

8.9K 1.3K 36
                                    

"Mungkin berdamai tidak akan buruk-buruk banget." Pembimbing Anak Magang yang memutuskan untuk hidup damai.

Akhir pekan bersama para anak magang ternyata cukup menyenangkan. Mereka lebih santai dan sepertinya aku mulai terbiasa dengan gaya senda gurau mereka. Kami menghabiskan akhir pekan untuk karaoke, makan gelato dan minum kopi setelah makan siang.

"Bulan depan, aku akan tugas ke Surabaya. Kalian harus jaga supaya kejadian kemarin-kemarin nggak terulang, ya? Aku nggak mau dengar laporan kalau kalian berisik, melempar-lempar barang atau salah menghancurkan dokumen."

DJ tertawa lepas sementara Mamet cemberut. Dia harus mengulang pencatatan logbook hasil laporan karena belum sempat memindahkannya ke soft file. Ai menceramahinya soal itu. Gadis itu berpendapat bahwa semua yang manual haruslah diubah ke digital.

"Apa?" tanyaku pada Ai yang melihat terang-terangan.

"Kakak kalau di luar jam kerja, jadi menyebut diri sendiri "aku" tapi kalau di kantor jadi resmi lagi."

Aku tertawa mendengar ucapan Ai. Sebenarnya suasana yang santai ini membuatku lebih nyaman. Sesuatu hal yang kupikir tidak akan pernah kurasakan sebagai pembimbing anak magang.

"Paling kalau di kantor, berubah lagi," cibir Mamet.

"Oh, ya! Kalau di kantor, aku harus galak. Soalnya kalian amit-amit bandelnya. Coba, siapa yang waktu itu bawa headset buat gaming terus berisik pas istirahat karena main mobile legends? Kalau kelakuan kalian lebih bar-bar pas aku nggak ada, pantesan divisi lain ngeluh." Aku menghirup green tea latte perlahan, menyesapi rasa pahit khasnya. Ketiganya pura-pura tidak mendengar. Mamet bahkan langsung menghirup latte panas sampai dia mengibas-ibas tangan karena lidahnya nyaris terbakar. Tingkah mereka membuatku tertawa.

"Omong-omong, ke Surabaya itu dalam rangka kencan terselubung, Kak? Ini Kak Baron juga info kalau dia ditugasin ke Surabaya," ucap Mamet beberapa menit kemudian, berusaha mengalihkan pembicaraan. Anak itu baru saja memegang ponsel dan sepertinya sedang berkirim pesan dengan Baron.

Sementara anak-anak lain terbelalak menatap Mamet, aku mencoba mengingat-ingat. Pak Anwar memang berkata akan meminta salah satu anak tim strategi untuk ikut ke Surabaya tapi belum tahu siapa yang akan diturunkan.

"Kamu tahu dari mana? Pak Anwar belum bilang apa-apa." Kuputuskan untuk bicara dengan Pak Anwar untuk mencoba mengganti Baron. Hubungan kami yang aneh itu bisa berpengaruh pada kinerja di lapangan. Lagipula gosip kami juga sangat mengganggu.

"Barusan ngobrol. Kak Baron ajakin mabar, tapi aku info kalau kita lagi nongkrong di sini." Mamet meletakkan ponselnya sedangkan aku mencerna ucapan laki-laki cerewet.

"Mabar itu main bareng, Kak. Aku tahu apa yang mau Kakak tanyain," sahut Ai. Kemudian gadis itu mencondongkan tubuhnya ke arahku.

"Jadi, gimana hubungan Kakak sama Kak Baron?" tanya Ai lagi. Bola mata cokelatnya membesar, mengingatkanku dengan warna bola mata Baron yang serupa hershey.

"Hubungan kerja, Ai. Aku, kan udah bilang berkali-kali."

Ketiga anak magang di hadapanku terlihat kecewa. Mereka tidak jadi dapat bahan gosip paling dulu. Aku melirik jam tangan dan memutuskan untuk pulang meskipun malam belum terlalu larut. Sejak papa tiada, aku jadi terbiasa memberlakukan jam malam untuk diri sendiri. Pukul sepuluh untuk hari jumat dan sabtu, sementara di hari lain pukul delapan aku sudah di rumah kecuali saat lembur.

"Kak, masih jam sembilan ini. Tanggung kan satu jam lagi," kata Ai.

"Nggak bisa, Ai. Mamaku sendiri di rumah."

The Differences Between Us (Completed) Where stories live. Discover now