Chapter 7: Kepingan Memori

19 10 19
                                    

"Si Reynard itu, masih saja sempat membuat tipuan yang menjengkelkan," rutuk Abel ketika menyadari pintu itu adalah sebuah portal teleportasi yang menjadi keahlian Reynard Angel. 

"Apakah dia akan baik-baik saja Tuan Abel? " tanya Lurecia.

"Kau tak usah mencemaskan dia, Lurecia. Rion pasti bisa menemukan apa yang ia cari," ucapnya sambil berlalu melewati gadis yang masih memandangi pintu emas yang tertutup rapat.

 "Boleh aku meminta sesuatu, Tuan Abel?" Tiba-tiba Lurecia berkata, hingga Abel yang sudah mencapai anak tangga menghentikan langkahnya. 

"Tolong latih aku selama Rion berada di dalam sana," pintanya.

"Mengapa aku harus melakukannya?" Abel balik bertanya. Sebuah senyuman terukir di wajahnya.

"Aku, ingin lebih kuat. Aku ingin dapat diandalkan, jika suatu hari nanti dia kembali lepas kendali." Tangan Lurecia tampak mengepal kuat. 

Abel terdiam. Sebuah senyuman tipis terukir di bibirnya. "Saat melihatmu, aku sudah mengetahui kau gadis yang cerdas, Lurecia," jawabnya tanpa menoleh. "Itu berarti dua hal. Pertama, kau bisa mendapat informasi yang bermanfaat dengan kecerdasanmu. Yang kedua.... " Abel menggantungkan ucapannya."Kau bisa menjerumuskan dirimu kepada suatu hal yang berbahaya." 

Lurecia menggigit bibir bawahnya. Sejak dirinya menyaksikan Rion mengamuk hari itu, ia bertekad ingin menjadi lebih kuat sehingga kejadian tersebut tidak terulang lagi. 

"Aku sudah siap menerima resiko itu, Tuan," pungkas Lurecia mantap tanpa keraguan.

Gadis itu menghadap ke arah Abel, dengan sorot mata penuh keteguhan hati. Pria berambut putih panjang itu, hanya tersenyum melihat keyakinan yang terpancar dari diri Lurecia. 

"Jika kau begitu inginnya, Mandala bisa melatihmu untuk sementara. Dengan magis dan kepintaran  yang kau miliki, kau punya potensi yang besar. Hanya saja, perlu ditempa lebih halus lagi. Mulailah berlatih dengannya hari ini!" perintahnya seraya melirik Ace Mandala.

"Ba-baik, Tuan Abel. Terima kasih atas kebaikanmu," sahut Lurecia sembari membungkuk senang. 

Abel pun meninggalkan Lurecia yang masih terdiam di depan pintu tempat Rion memasuki labirin ingatan. 

***

"Bagaimana perkembangan gadis itu?"  tanya Abel pada Ace Mandala yang baru saja tiba atas perintahnya. Seminggu sudah berlalu, semenjak Rion Angel memasuki pintu emas peninggalan ayahnya.

"Dia memiliki aliran aura dan jenis magis yang berbeda dari kebanyakan magisi. Selama latihan, kemajuannya sangat pesat, Tuan Abel. Selain itu.... " Mandala menjeda ucapannya. 

Abel yang mendengarkan laporan pria berambut hitam itu, memutar badannya, sehingga keduanya saling berhadapan. 

"Gadis itu memiliki radas orb yang dikembangkan bangsa kita, Tuan," sambung Mandala yang sukses membuat Abel menaikkan alisnya. 

"Apa kau yakin itu radas orb?" Abel mencoba memastikan. 

"Tidak salah lagi, Tuan." Mandala menunjukkan sebuah orb merah rubi yang tersemat di pelindung tangan pada pria di hadapannya. 

"Apa kau menanyakan dari mana dia mendapatkan radas orb itu?" selidik pria berjubah itu lebih lanjut. 

"Seorang Alchemist dari desanya yang membuatkan tongkat itu. Namanya, Fulla." Mandala menerangkan.

"Bagaimana dengan penguasaan teknik penyembuhnya?"

Mandala terdiam sejenak. "Semua gulungan sudah ia kuasai, Tuan. Aku sendiri terkejut melihat betapa cepatnya dia belajar."

Abel kembali membelakangi pemuda itu. "Latih dia lebih keras, Mandala. Aku merasakan akan ada sesuatu yang datang. Kemampuannya akan sangat berguna ke depannya."

Mandala menghampiri Abel. "Apa, Tuan mendapat pengelihatan lagi?"

Abel memejamkan matanya. "Pengelihatanku semakin jelas saat Rion berada di Lunathea, Mandala. Ini takdir. Tidak bisa di cegah. Tapi bisa dirubah."

Mandala hanya terdiam sejenak. "Aku berharap kedatangannya ke sini memang ditakdirkan sebagai penyelamat. Anda tahu siapa ibunya kan, Tuan?"

Abel mengangguk, lalu memerintahkan bawahannya itu keluar. Pria itu kembali berdiri di hadapan jendela besar kamarnya sembari menatap rinai hujan yang terus turun di luar sana. Sebuah senyuman terukir di bibirnya.

*** 

Sementara itu di tempat lain, Rion perlahan membuka matanya yang  silau saat menyentuh pintu yang ditunjukkan oleh Abel Forsetti. Ia terkaget saat melihat pemandangan yang ada di hadapannya.

Saat ini ia berada di sebuah tempat yang dipenuhi oleh kobaran api di mana-mana. Bangunan banyak yang hancur. Orang-orang berlarian sambil berteriak ketakutan tidak jelas. Sementara, dibanyak tempat bergelimpangan mayat-mayat, baik manusia maupun sosok mahluk mengerikan yang dikenali Rion sebagai bangsa iblis. 

"Di mana ini?"

Tidak berapa lama, Rion Angel melihat seorang pria terjebak di sebuah reruntuhan bangunan. Ia segera beranjak ke arah pria itu berniat untuk membantunya. Betapa terkejutnya Rion, saat ia hendak membantu pria itu, tangannya tidak mampu menyentuh pria yang terperangkap itu. Seolah dirinya merupakan roh tanpa badan kasar.

Pemikirannya terbukti, saat  beberapa iblis mulai menyerang pria itu. Para Iblis tidak menghiraukan kehadiran Rion Angel dan dengan ganas mencabik pria malang tersebut. Darah dan isi perut pria itu terburai manakala tubuhnya terbagi dua oleh iblis berwujud banteng itu.

Tidak bisa melakukan apa pun, Rion mulai menapaki jalanan yang ada, sambil mencari sebuah petunjuk di mana keberadaannya kini. Suara jerit dan teriakan kematian memenuhi tempat tersebut. Dengan susah payah, Rion berusaha mengabaikan semua hal yang ia dengar atau dilihatnya.

Hingga akhirnya, ia tiba di sebuah rumah berpagar kayu, dengan cat cokelat dan terdapat beberapa rumah mainan dari bahan  kayu di halamannya. Mengernyitkan dahi, ia merasa mengenali bangunan tersebut. Perlahan ia melangkah mendekat. Sayup-sayup terdengar orang bercakap-cakap, di terangi sebuah cahaya yang berasal dari sebuah lentera. 

Rion mendekat, dan tubuhnya langsung menembus dinding bangunan. Ia melihat ada empat orang tengah berada di sudut ruangan yang ia kenali sebagai kamar orang tuanya. Di sana ia melihat ibu, bersama ayahnya dan seorang pria tua yang ia ketahui bernama Lios. Sementara seorang lagi adalah dirinya yang saat itu berumur tujuh tahun, tengah meringkuk di belakang sang ibu. 

Rion merasa pemandangan tersebut begitu aneh. Seolah melihat kilasan-kilasan kejadian masa kecilnya sewaktu ia berada di Edgar. 

"Kau sadar dengan keputusanmu ini, Reynard?" Rose menatap Reynard Angel dengan serius. 

"Aku tahu ini akan sulit baginya," tunjuk pria berambut keperakan itu ke arah Rion kecil. "Aku yakin, ia bisa melewatinya," sambungnya yakin. 

"Mereka akan mengejarnya, Reynard!" bantah Rose keras. 

Reynard memejamkan mata sambil menghembuskan napasnya pelan. "Aku akan mengatasi itu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." 

"Bagaimana—" 

"Rose, jagalah Rion baik-baik. Sebuah tanggung jawab besar ada di pundaknya," pungkas Reynard tegas tanpa ingin dibantah

"Berjanjilah kalau kau akan menyusul kami."  Rose mulai terisak.

Wanita itu diam dengan berderai air mata di pipinya. Reynard menatapnya sendu. Sekilas mengusap pipi wanita itu sebelum berkata, "Leon Wiseman akan datang. Aku harus membantunya. Iblis yang kita hadapi bukan iblis sembarangan. Dan aku sangat yakin Sorelis ada di balik semua ini."

"Ayah.... " Tiba-tiba Rion kecil berbicara. "aku akan menjaga Ibu. Jadi Ayah bisa membantu Paman Leon."

"Aku tahu kau pemberani, anakku. Bawalah ini bersamamu." Reynard melepas kalung di lehernya dan mengalungkannya ke leher bocah itu. 

Bersambung

Alcholyte Saga : Tujuh AstralisHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin