Chapter 3: Sorelis Mansion

43 19 8
                                    

Setelah cukup lama menyusuri tangga yang sedikit curam, mereka pun tiba di sebuah ruangan yang luas dengan langit-langit tinggi. Terdapat beberapa pilar besar yang menopang ruangan itu. Di bagian kanan ruangan, dipenuhi kursi-kursi panjang yang disusun berderet dan di ujung ruangan terdapat sebuah mimbar megah dengan simbol singa hitam besar terpampang di dinding.

Keduanya memperhatikan gambar tersebut beberapa saat, sementara di dinding yang lain tampak terpajang foto- foto dalam ukuran besar dalam kondisi berjamur dan sudah terkelupas.

"Singa hitam, seperti dalam mimpi ibumu," bisik Lurecia mengamati simbol keluarga Sorelis.

Pandangannya beralih ke arah foto-foto, yang memajang gambar keluarga misterius penguasa Edgar tersebut.

"Aku tahu orang ini." Lurecia mendekati sebuah foto. "Aku pernah melihatnya di buku koleksi Fulla," lanjutnya.

Gadis itu memperhatikan foto seorang pria yang memiliki wajah tegas, mengenakan armor hitam dengan rambut diikat ke belakang. Ada sebuah luka memanjang di pelipis kirinya.

"Dhaindra Sorelis." Lurecia bergumam sendiri sambil mengingat-ngingat buku yang sempat di bacanya. Mulut gadis itu terus berkomat-kamit sembari melihat foto satu dan lainnya.

Saat keduanya kembali menyusuri ruangan dan Lurecia hendak mengamati sebuah foto yang merupakan gambar seorang wanita, udara yang pengap dan beraroma debu, tiba-tiba terasa dingin. Rion mencabut pedangnya, tampak jelas ia dalam posisi siaga penuh. Pemuda itu bisa merasakan sebuah aura, meski sedikit samar. Dalam hitungan detik, hembusan angin terasa di ruangan itu. Rion dan Lurecia segera bersiap menunggu apa yang akan muncul. Sedetik kemudian, Lurecia merasakan tubuhnya disambar oleh Rion. Bersamaan dengan itu, kursi panjang yang berada di dekatnya seketika hancur berkeping-keping. Tampak, tombak-tombak es menancap di tempat kursi itu berada sebelumnya.

"Apa yang-" Lurecia kaget bukan main.

Gadis itu bergidik ngeri membayangkan jika ia masih berada di tempatnya semula. Terdengar langkah kaki dari balik sebuah pilar, tampak seseorang berdiri di kegelapan memperhatikan keduanya. Sebuah senyuman tipis terukir di bibir orang tersebut.

"Siapa kau? Tunjukkan dirimu!" seru Rion.

Ia kini menghadap ke arah sebuah pilar tempat orang misterius itu bersembunyi. Tidak menunggu lama, muncul seorang pria dari balik tempat itu. Di tangannya tergenggam sebilah pedang tipis dan panjang, yang menguarkan aura kebiruan.

"Apa tujuan kedatangan kalian?" Pria itu bertanya dengan intonasi datar dan dingin.

Meskipun suaranya terdengar datar, ada suatu nada ancaman terkandung di dalamnya. Terlebih lagi, sosok pria yang mengenakan jas hitam tersebut, memancarkan aura aneh yang membuat Rion tidak berani bertindak gegabah.

"Kami hanya sekedar lewat," cicit Lurecia asal.

Pria itu melirik Lurecia sekilas lalu kembali menatap lurus Rion Angel.

"Kau tampak menjanjikan, seperti yang dikatakan. Namun, harus kubuktikan sendiri." Pria itu menyunggingkan sebuah senyuman aneh.

Tanpa aba-aba, pria itu melesat ke arah Rion dan menebaskan pedangnya. Rion menghindari tebasan itu dengan melompat ke belakang. Lurecia mencabut tongkat magisinya, tetapi pemuda itu menghentikannya.

"Dia bukan tandinganmu, berlindunglah!" perintahnya.

"Jangan lengah anak muda." Kembali pria itu melesat ke arah Rion Angel.

Sebuah serangan menyilang berhasil ditangkis Rion dengan pedangnya. Tubuh pemuda itu terpukul mundur beberapa meter akibat adu pedang tersebut.

Orang ini kuat, batinnya.

Rion menyiagakan pedangnya sejajar dengan bahu, kemudian ia pun melesat ke arah pria di hadapannya. Pertarungan sengit kembali terjadi. Keduanya saling serang dan berusaha memojokkan lawannya. Meskipun, Rion Angel menyerang pria itu dengan cepat dan bertubi-tubi, tetapi dengan mudah serangannya berhasil dihalau. Rion kembali terhempas mundur saat ia menangkis serangan balasan pria yang menjadi lawannya. Sebuah luka tampak di bahu kiri pemuda itu. Darah segar perlahan mulai menetes dari bahunya. Lurecia segera mendekat dan menyalurkan magis penyembuh pada luka Rion Angel.

"Menarik, sesuai gambaran yang aku terima," puji pria itu penuh teka teki.

Dalam hitungan detik, pria itu kembali menyerang Rion Angel. Kini, serangannya lebih kuat dan mengandung energi yang lebih besar.

Rion terhempas ke dinding ruangan saat sebuah tendangan memutar menghantam perutnya dengan keras. Kali ini, terlihat luka gores memanjang di bahu kanan pemuda itu. Darah segar mengalir cukup deras membasahi jubahnya.

Pria berjas hitam itu melangkah mendekat sembari mengibaskan pedangnya yang berlumuran darah, lalu menyarungkannya kembali.

"Loveporten apnes!" bisik orang itu.

Sambil mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah depan, sebuah cahaya mulai bersinar dari kalung yang dikenakan Rion Angel. Baik Rion atau pun Lurecia kebingungan dengan kejadian itu. Mereka menutupi mata dengan tangan saat sinar kalung semakin terang dan menyilaukan.

***

"Di mana ini?" Lurecia tampak bingung dengan pemandangan yang ia lihat saat membuka mata.

Pemandangan yang menghampar di hadapan keduanya sangat kontras dengan sebelumnya. Saat ini, keduanya berada di sebuah padang rumput yang sangat luas. Terdapat aliran sungai jernih yang mengalir di salah satu sisi padang rumput itu. Yang mengejutkan, nampak sebuah kuil megah pada sebuah pulau yang melayang di udara dan diapit oleh dua buah air terjun yang terjatuh bebas ke aliran sungai di bawahnya. Keduanya berpandangan tidak mengerti dan sekali lagi dikejutkan oleh sinar redup yang muncul dari kalung Rion Angel.

"Apa lagi sekarang?" gumam pemuda itu sambil mengeluarkan kalung miliknya.

Sebuah cahaya putih, melesat dari kalung yang ia kenakan dan membentuk sebuah garis lurus tepat ke arah kuil yang melayang di udara. Saat cahaya itu memudar, nampak oleh keduanya sebuah tangga yang perlahan muncul dan mengarah ke kuil tersebut.

"Kita tidak akan ke sana, 'kan?" tanya Lurecia cemas.

Ia hanya bisa menarik napas dalam dan mengeluh dalam hati, saat Rion tanpa ragu menapaki tangga di hadapan mereka.

Bersambung

Alcholyte Saga : Tujuh AstralisWhere stories live. Discover now