Bab 22: Mencari Jalan Ke Vandescar

3 4 0
                                    

Caira perlahan membuka mata dan mengerjap karena cahaya matahari yang menembus tirai ruangan yang ia tempati. Gadis itu mengedarkan pandangan sejenak. Ruangan yang ia tempati memiliki perabot yang mewah dan tertata rapi. Dinding kamar tertutup kain beludru putih dan dihiasi beberapa lukisan pemandangan padang rumput atau pun bebungaan. Saat masih kebingungan, pintu ruangan terbuka dan terlihat Millia tersenyum ke arahnya.

"Kau sudah siuman," ucapnya penuh kelegaan seraya memeluk gadis itu.

'Di mana ini? Apa yang terjadi? " berondong Caira.

Millia menceritakan perihal ritual pemurnian yang gadis itu lakukan di Althena. Bagaimana kota itu telah menjalani proses pembangunan kembali, serta dirinya yang kemudian tak sadarkan diri, lalu dibawa ke Estardia.

" Apa yang kau lakukan sungguh luar biasa, Caira," puji Millia serius.

"Aku hanya menjalankan apa yang harus aku lakukan, Millia," jawabnya pelan.

Entah mengapa, pikiran gadis tidak tenang. Apa yang ia alami dalam mimpi perihal dunia astralis dan pertemuannya dengan Dragonite sedikit membuatnya memiliki firasat buruk.

"Apa yang kau pikirkan?" Millia menyadarkan Caira yang tampak termangu beberapa saat.

"Aku harus bicra pada, Lucas."

"Ada apa?"

Caira kemudian menceritakan mimpi yang ia alami pada Millia yang mendengarkan penuh seksama.

"Berbicara soal Astralis, Rion Angel mengatakan ingin memberikanmu sesuatu." Gadis itu mengangsurkan secangkir teh hangat pada Caira.

"Memberikan apa?" tanya Caira menyesap tehnya.

Millia menggeleng. "Aku tidak tahu. Pastinya sesuatu yang penting," ungkap gadis berambut sebahu itu.

"Di mana dia sekarang?"

"Di taman bersama Lucas dan lainnya," terang Millia.

Caira segera keluar kamar dan menuju ke arah taman kediaman keluarga Estardia diikuti oleh Millia. Keduanya melihat Lucas tengah berbincamg bersama Rion Angel, sementara Cliff tampak menjelaskan bagian-bagian taman yang luas itu pada Lurecia.

"Kau sudah bangun, bagaimana keadaanmu?" Lucas berdiri saat Caira tiba di dekatnya.

"Aku baik saja, terima kasih karenamu," sahut gadis itu tulus.

Lucas mengangguk, lalu menatap Rion Angel seolah memberi isyarat. Pemuda itu lalu mengambil sebilah pedang dari punggungnya dan menyerahkannya pada Caira. Pedang itu mulai berpendar, sesaat setelah gadis itu menyentuhnya.

"Albatraz, Astralis Serigala Artic," gumam Caira.

Pedang di tangan Caira mulai melayang dan memancarkan cahaya terang yang menarik perhatian Cliff dan Lurecia.

"Salju?" Lurecia mendongak ke langit yang tiba-tiba berubah kelabu dan mulai menggelap, disertai turunnya butiran-butiran berwarna putih.

Pandangan semua orang tertuju pada Caira yang saat ini diselimuti cahaya putih terang dan kemunculan sebuah lingkaran magis, tepat di atas taman Estardia. Sebuah kilatan cahaya melesat dari lingkaran magis itu dan sesosok pria dengan setelan jas biru tampak berlutut di hadapan Caira.

"Albatraz!" seru Rion dan Lurecia serentak. Kelegaan tampak jelas dari raut keduanya.

"Aku siap mengabdi padamu, Arcanar Muda," ucap Albatraz masih dalam posisinya.

"Terima kasih, Albatraz. Aku akan memerlukan kekuatanmu," sambut Caira mengulurkan tangannya yang terdapat segel magis.

Keduanya berpegangan tangan untuk proses kontrak magis. Cahaya putih kembali menyelimuti keduanya. Namun, tak seperti Astralis lainnya yang berubah wujud dalam bentuk senjata, Albatraz tetap berwujud seorang pria paruh baya dengan sebilah pedang tergantung di pinggangnya.

"Aku akan bertugas melindungi Anda, Master. Itu perintah Tuan Leon padaku." Albatraz membungkuk hormat.

Lurecia tak bisa menahan rasa bahagianya. Ia berlari dan segera memeluk pria itu.

"Aku senang melihatmu, Albatraz. Aku kira, kau tak kan kembali." Rion menepuk pundak pria berjas itu hangat.

Caira dan lainnya keheranan melihat keakraban Albatraz dengan Lurecia dan Rion Angel.

"Kalian...."

"Kami bertemu dengannya di Pulau Edgar, tepatnya di Sorelis Mansion." Rion memulai ceritanya.

Pemuda itu menceritakan perihal kedatangannya ke Edgar untuk mencari jejak sang ayah, hingga ia dan Lurecia bertemu dengan Albatraz yang mengirim mereka ke dunia Vallians, Lunathea. Di mana mereka bertemu dengan Abel Forsetti dan juga mengalami pertempuran dengan Dhaindra Sorelis, salah satu anggota keluarga Sorelis yang dikabarkan lenyap usai insiden Perang Hitam. Mereka berhasil lolos dari serbuan Dhaindra dan rekannya, karena Abel mengorbankan diri untuk mereka. Bawahan Abel pun saat ini berada di pihak Dhaindra, entah dengan cara bagaimana.

"Saat itulah kami bertemu kalian di puncak Hiruelle." Rion menutup ceritanya.

Caira dan lainnya terdiam mencerna cerita pemuda berambut putih itu. Segalanya mulai terhubung satu sama lain.

"Tujuan Dhaindra menyerang Lunathea, apakah untuk menangkapmu?" Millia mengajukan pertanyaan yang sejak tadi ditahannya.

Rion mengangguk. "Kenapa kau bisa menebaknya."

Millia mulai bercerita, perihal Kuil Asgar yang memerintahkan Caira untuk membuka segel Astralis dan mengumpulkan ketujuh Astralis Suci dengan tujuan membuka Cathedral Sanctuary. Gadis berambut cokelat itu pun mengatakan, bahwa untuk mengalahkan Genesis yang kemungkinan masih bertahan, selain kekuatan Astralis, kekuatan Rion Angel juga diperlukan.

"Semuanya terhubung, tapi makin rumit," kata Lucas saat Millia mengakhiri ceritanya.

Pemuda itu pun menjelaskan, bahwa misi Caira adalah misi yang cukup beresiko, karena ketika gerbang Sanctuary terbuka dan Genesis masih hidup, belum tentu Caira dan astralisnya bisa mengalahkan makhluk kegelapan itu. Yang berarti, perang hitam bisa saja kembali terjadi. Perihal kekuatan Rion yang disebutkan bisa membantu melawan Genesis, belum sepenuhnya bisa dipastikan. Terlebih, saat ini ada organisasi misterius yang mengumpulkan senjata Paladia, entah dengan tujuan apa. Lucas juga kembali mengingatkan ucapan pria bertopeng yang mereka hadapi, bahwa apa yang mereka lakukan saat ini adalah sebuah kekeliruan.

"Apa menurutmu, Caira dimanipulasi pihak tertentu untuk membangkitkan Cathedral?" tanya Rion.

"Jika benar, Kuil Asgar merupakan salah satu yang patut kalian curigai, karena perintah yang kalian dapatkan berasal dari sana," sambung Lurecia.

Lucas mengangguk. "Kami pun sempat berpikir begitu, tapi kami belum bisa memastikan apakah Asgar terlibat atau tidak. Mengingat, wilayah itu juga sempat mendapat serangan dari organisasi Dhaindra."

"Kita pun tak tahu tujuan mereka mengumpulkan Paladia." Millia menimpali.

"Paladia ini, apakah begitu hebatnya?" Lurecia bertanya, setelah menyimak pembicaraan Rion dan lainnya.

Lucas mulai berkata, "Paladia merupakan senjata yang termasuk ke dalam senjata suci, karena kekuatannya yang luar biasa. Senjata itu tak bisa dipakai orang sembarangan, karena merekalah yang memilih tuan mereka."

Lucas kembali menjelaskan, bahwa Paladia berjumlah ratusan dan tersebar di seluruh wilayah Alcholyte. Hampir seluruh Ras yang ada memiliki senjata itu. Menurut cerita yang ia dengar, saat perang hitam, senjata itu digunakan memerangi iblis. Namun, tak ada yang tahu, kenapa senjata-senjata itu menghilang dan tersisa hanya tujuh saat ini. Ia mengatakan senjata yang mereka gunakan adalah Paladia, yang mereka dapatkan dari Asgar. Dari sekian banyak Ksatria hebat, hanya mereka berdua yang mampu mengendalikan kekuatan senjata itu.

"Yang aku tahu, Asgar memiliki tiga diantaranya yang kini ada di tangan Dhaindra. Satu di Vandescar, dan lainnya tersebar di Golluath dan Avallon," jelas Lucas.

"Sayangnya kita tak tahu jalan tercepat menuju Callisto Vandescar, selain melewati hutan magis, Ventum Silva," lanjut Millia.

"Ada jalan lain." Lurecia berujar membuat yang lain menoleh ke arahnya.

Bersambung

Alcholyte Saga : Tujuh AstralisWhere stories live. Discover now