SAJADAH HATI

25 14 1
                                    

Assalammualaikum kehidupan dunia, ternyata tiap individu memiliki rodanya sendiri dalam menjalani kehidupan di dunia yang beragam warna ini.

Kunikmati mentari hari ini dengan aroma hangat, sinarnya menyejukkan rasa. Jiwa raga laksana terbang diatas danau, karena ketenangannya.

Subhanallah, cantiknya ... (lima menit memperhatikan Numaina tanpa berkedip) dan tanpa sengaja juga terlantun oleh Ahmad Bukhoiri. Mereka berdua teman-temanku, kami bertiga kuliah di salah satu institut swasta di malang, sayangnya kami tidak ada yang satu jurusan.

Saat kumendengar apa yang dilantunkan Ahmad, terceletuk yang ada dibenakku.
"Kamu kagum atau suka? Dia baik, sholeha, juga charming," Tanyaku, dan kusampaikan pada Ahmad mengenai Numaina.
"Eng ... eng ... enggak kok," Jawab Ahmad padaku (dengan wajah yang merah saat kutatap dirinya).
"Nah kan, bohong gitu ...." Seruku ke Ahmad.
Kemudian Ahmad hanya berani menunduk malu, tidak berani menatapku lagi.

Akhirnya kucoba mencari topik percakapan lain, agar mencair suasananya. Hingga, setelah kami berdebat masalah mata kuliah yang sedang menjadi topik untuk seminar budaya dikampus kami, kufikir sudah sedikit tepat waktunya untuk menanyakan bagaimana perasaannya selama ini pada Numaina. Karena selama tiga tahun, hampir mendekati perkuliahan berakhir di tahun keempat ini, Ahmad hanya berani memandangnya dari jauh.
"Mengapa tidak juga mengatakan perasaanmu ke Numaina?, terus kalau kamu keduluan orang lain gimana?" Tanyaku ke Ahmad, dengan nada menggelitik agar kudapat informasi yang selama ini kucari jawabannya dengan berbagai cara.

Namun, ternyata tetap tidak membuat Ahmad mengeluarkan sebuah jawaban yang kutunggu-tunggu. Kuhampiri Numaina setelah selesai mengikuti kuliah hari ini, tanpa kuberi tahu pada Ahmad bahwa sebenarnya cukup dekat kumengenal Numaina. Karena kita teman saat Sekolah Menengah Pertama, agar kita tahu sampai seberapa perjuangan Ahmad untukmu.
Numaina hanya tersenyum saja, menuju mobil kakaknya yang sudah datang menjemput.
"Sasi, aku duluan ya," dengan melambaikan tangan, Numaina pergi meninggalkan kampus.

Sebulan aku tidak bertemu, bahkan bercanda-canda dengan Ahmad juga Numaina. Karena kami sedang sibuk masing-masing, untuk persiapkan materi apa saja yang akan dipresentasikan saat acara seminar budaya. Hanya saling mensupport satu dengan lain, melalui percakapan voice note.

Sampai delapan bulan berlalu, setelah acara seminar budaya di kampus. Numaina menghubungiku untuk bertemu di kantin kampus, karena akan ada yang dibahas mengenai Ahmad.
"Kalau gitu kutunggu di kantin ya? Karena lima belas menit lagi aku harus bertemu dosen pembimbing untuk bimbingan skripsi," Seruku ke Numaina.
"Ya," Jawab Numaina padaku.

Kutunggu, sambil memesan segelas minuman sembari menunggu Numaina datang. Baru aku akan memesan, Numaina sudah duduk disebelahku.
"Mbak, ini nanti ya menunya," Kata Sasi ke pelayan kantin.
"Ya mbak," Jawab pelayan kantin tersebut.

Dengan wajah penuh kebingunganku, bertatapan pada wajah Numaina yang justru sedih.
"Kamu kenapa? Kenapa wajahmu sesedih ini?" Tanyaku dengan berbagai kecemasan, kebingungan.
"A ... a ... aku," Dengan nada terbata-bata, Numaina berusaha menyampaikan atas tragedi yang terjadi pada Ahmad.
"Ambil napas dulu, lalu jelaskan secara perlahan," kutenangkan Numaina agar dapat menyampaikan apa yang menjadi ganjalannya.
"Janji ya Sas, kamu nggak akan menyalahkanku?" Tanya Numaina padaku.

Makin aku bingung dengan apa yang dipertanyakan, dan juga apa sebenarnya yang mau disampaikannya ke aku. Sampai bingung, juga sedih begitu sorot pandangnya ke aku.
"Ya ...." Jawabku ke Numaina.
"Sekarang sampaikan apa yang jadi ganjalan dibenakmu," Jelasku ke Numaina.
"Kamu ikut aku dulu tapi, sekarang yuk," karena mendesak ini Sas.

Aku ditarik untuk ikut Numaina, akhirnya aku menurut dan naik ke mobil kakaknya Numaina. Kami semua hanya diam, mobil berjalan dengan kecepatan 80 km/jam. Aku tidak berani menerka-nerka apa yang sedang terjadi, hanya dapat berdoa sejak mobil melaju sekencang itu.

Dibawa langsung aku mendekati ruang ICU sebuah rumah sakit, makin tidak karuan apa yang ada dibenakku.
"Sasi, coba kau lihat dengan seksama yang berada didalam ICU," Jelaskan Numaina ke aku.

Aku benar-benar terkejut, lemas, dan campur aduk rasa yang ada di raga ini. Karena melihat kondisi Ahmad dengan berbagai alat bantu ditubuhnya, tidak sanggup aku memperhatikan kondisinya. Nyaris aku pingsan, dengan kondisi Ahmad seperti itu.

Kutatap Numaina dengan dalam, dan berbagai pertanyaan yang ada dibenakku. Tetapi, belum sampai aku melontarkan berbagai pertanyaan, sudah langsung dijelaskan sama Numaina. Kudengarkan penjelasannya dengan seksama, tiba-tiba air mataku menetes tanpa kusadari.

Dua puluh menit kumendengarkan penjelasan Numaina dan kakaknya, hanya senyum yang dapat kuberikan pada Numaina. Tetapi di hatiku, rasanya sesak sekali akan kejadian yang dialami Ahmad. Selang seminggu setelah Numaina membawaku ke rumah sakit, kakak Numaina menyampaikan padaku kalau mereka harus berangkat ke Sidney. Karena membantu usaha orangtuanya di sana, sedangkan Ahmad ditinggalkan sendiri dengan perawat-perawat rumah sakit. Dan Numaina, menyampaikan bahwa seluruh biaya Ahmad telah dilunasi hingga dia sadar.

Aku sedikit tenang karena tidak sampai bingung dengan biaya rumah sakit, sekarang yang kucemaskan bagaimana kondisi Ahmad kembali stabil dan sembuh.

Aku hanya bisa mondar-mandir rumah sakit, kampus, dan kontrakan. Selama sebulan aku dalam kondisi semacam ini, dan mengaji disebelah Ahmad tiap selesai sholat maghrib.
Akhirnya, kondisinya menunjukkan perkembangan yang signifikan, dan tepat saat adzan magrib hari ini jum'at, Ahmad membuka matanya dari kondisi komanya.

Alhamdulillah, kupanjatkan sujud syukur dengan kesembuhan Ahmad. Kupanggil dokter dan suster, untuk melihat kondisi Ahmad karena telah membuka mata. Dokter dan suster sedang mengecek, aku berdoa penuh harap akan kondisi Ahmad agar benar-benar pulih.

Di hadapan dokter dan suster, Ahmad memintaku mendekat padanya, dan mengatakan bahwa ia ingin menikahiku. Aku kaget akan perilaku Ahmad, karena yang kutahu selama ini dia cinta dan sayang pada Numaina. Tanpa berfikir panjang, kuterima lamarannya karena takut bila ada penolakan malah membahayakan kondisi Ahmad.

Ternyata yang membuat kondisi Ahmad seperti ini, karena penjelasan Numaina bahwa kakaknya itu sebenarnya adalah suaminya. Selama ini Ahmad selalu berdoa disetiap sujudnya, untuk dapat ditakdirkan berjodoh dengan Numaina, dan lebih baik kupanjatkan doa juga kujaga hatiku hingga aku dan Numaina bersatu dalam sebuah pernikahan.

Tetapi, kenyataan yang harus kudengar benar-benar membuatku kalut terus aku mengendarai kendaraan menuju pulang dengan pikiran kosong. Ternyata bukan Numaina jodohku, melainkan kamu Sasi. Jawaban ini yang telah ditunjukan Allah SWT, saat aku tertidur koma.

Makasih ya teman-teman yang masih setia dengan cerita-ceritaku 🙂🙂

CAHAYA KEHIDUPANWhere stories live. Discover now