6

1K 104 3
                                    

"Lo gila, Mbak! Nggak-nggak gue nggak mau berpihak sama lo kali ini!" tolak Karen.

Janice beringsut mendekati Karen, Ia mengambil kertas yang baru saja Ia serahkan kepadanya."Gini loh, kalau misalnya hasutan gue ini berhasil. Lo bakal dapat gift dari gue. Yah, tadi lo bilang lagi kepengen banget sama tas fendi kan?"

Karen mengangguk, tas miliaran rupiah itu menjadi idamannya akhir-akhir ini. Meskipun gaji dari Janice dan juga uang dari keluarganya cukup, Karen akan pikir-pikir dulu jika menyangkut beli-membeli.

"Gue bisa bayarin tas itu kalau lo mau bantu gue,gimana deal?" ucap Janice sambil menaikkan kedua alisnya.

"Lo mau bayar tuh tas pake apa, Mbak. Kan sekarang nggak ada syuting sejak PHK masal tadi," cibir Karen.

Janice merengut."Jangan gitu banget napa, Ren. Gini-gini gue masih punya tabungan berseri di rekening."

Karenina mengetuk-ngetukkan jarinya, Ia menimang kembali penawaran menggiurkan dari Janice. Majikannya ini menawarkan sebuah pertolongan berhadiahkan tas fendi, simpel sih tapi dia masih ragu. Bukannya memfitnah orang itu lebih kejam dari membunuh? Aih, kalau begitu kenapa Ia tak membunuh majikannya saja. Daripada Ia terjerumus untuk memfitnah Pak Janaka berselingkuh dengan perempuan antah berantah agar pernikahannya dengan Janice selesai.

Haduh, ini semua gara-gara bibirnya yang tak terkontrol. Kenapa sih dirinya bisa mengatakan kalau ada perempuan yang akan di nikahkan dengan Janaka jauh sebelum menikah dengan Janice dan kebetulan juga perempuan itu masih menjadi pegawai Janaka. Yang artinya, hal itu akan di manfaatkan Janice untuk memfitnah Janaka.

"Okedeh, gini aja lo nggak usah ikut-ikutan ngomongnya, tap--

"Gue jadi tim hore doang kan, Mbak? Setuju kalau gitu," potong Karen menyela.

"Enak aja! Masak gue ngeluarin uang banyak cuma bayarin lo jadi tim hore?Ogah!"

"Sini! Gue bisikin, gampang kok nggak terlalu jahat."

Janice mengatakan rencananya untuk memberi sedikit shock therapy kepada Janaka, yah semoga saja shock therapy ini bisa berhasil membuatnya bercerai dengan pria kampungan itu. Lumayan kan, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.

"Gimana? Gampang kan?" tanyanya seusai berbisik.

"Its easy for me, Mbak. Deal deh!" ucap Karen dengan senyum lebar, bayangan tas fendi menari-nari di pelupuk matanya.

"Tapi, nanti lo pulang kan Mbak? Gue takut nanti ada paparazzi yang nangkap lo di sini. Yah, lo tahu kan kalau seharusnya perempuan bersuami tinggalnya sama siapa?"

"Iya, besok gue pulang. Lagian ini udah malem tahu, paparazzi udah molor kali!"

***

Janaka memegang kepalanya dan juga dadanya, peningnya sudah mereda dan dada nya yang sesak pun sudah kembali normal. Hanya saja, seluruh badannya pegal-pegal karena terlalu lama tidur di lantai. Ia melirik jam dinding, oh tidak jam tujuh pagi. Ia melupakan Janice, perempuan itu sudah pulang atau belum ya?

"Buka pintunya! Heh lo denger nggak sih!"

Belum sepenuhnya tersadar, Janaka di kagetkan dengan teriakan beserta gedoran pintu. Dari suaranya terdengar seperti Janice, dengan gontai Ia berjalan ke arah pintu kayu jati.

"Lo budeg ya? Gue mau tanya sama lo, kenapa ruang TV jadi kayak kapal pecah gitu! "

Janaka mengalihkan tatapannya,tadi malam Ia belum sempat membereskan oh ya...laptop yang masih terbuka,gelas mug yang berisikan wedang uwuh yang tersisa setengah dan buku coretan. Sebenarnya Janice terlalu hiperbola jika mengatakan ruang TV seperti kapal pecah, karena hanya benda-benda tadi yang belum sempat Ia bereskan karena kejadian tadi malam. Hanya benda-benda tadi? Janaka menatap Janice kembali, tapi Janice lebih tertarik dengan kerusuhan di belakangnya.

"Oh jadi ini yang lo lakuin selama gue pergi?! Lo mau balas dendam sama gue dengan cara hancurin apartemen gue?!" Janice murka saat ruangan yang semula rapi berubah menjadi berantakan dan mirip sarang seorang penyamun.

Pecahan beling, parfum,deodoran dan pulpen-pulpen berserakan di lantai. Dan darimana asalanya beling? Oh shit! Cermin antik pemberian Mamanya sudah tak berupa lagi, Janice memang meletakkan cermin itu di ruang kamar tamu. Bukan beralasan, pasalnya cermin itu terlalu besar jika di jejalkan ke kamarnya yang sudah penuh dengan lemari-lemari berisi sepatu dan tas. Dengan usul Mamanya juga, Ia menaruh cermin itu di kamar tamu yang sekarang menjadi kamar Janaka.

"Jan? Saya nggak bermaksud menghancurkan cermin kesayangan kamu, tadi malam Saya..." Janaka menggantung ucapannya, hampir saja Ia kelepasan mengatakan hal itu.

"Nah kan, lo nggak bisa berkelit. Gue nggak mau tahu ya, lo harus bikin ruangan ini seperti semula dan cermin itu harus terpasang lagi."

Janaka mencoba meraih tangan Janice, namun si empunya langsung mengibasnya." Saya harus cari cermin seperti itu dimana, Jan? Setahu Saya cermin itu hanya di jual di daerah Jepara saja."

"DL, gue nggak peduli!" ucap Janice sambil berjalan pongah.

***
Janice kesal sekaligus heran, ruang kamar bisa berantakan seperti di jadikan pelampiasan emosi. Ia biasa melihat pemandangan seperti itu di film-film psikopat atau orang yang terkenal mental illness, dan jika di lihat masak iya Janaka yang terkenal kalem dan tenang mendadak terkena mental ilness. Apa jangan-jangan, perlakuannya selama ini yang membuat Janaka tertekan?

"Ish, nggak mungkin lah. Gue yakin seratus persen kalau dia beneran gila dari sananya. Hih serem!" ucapnya bermonolog.

Belum ada satu menit melamun, ponselnya berbunyi meraung. Karen-lah yang menelponnya, Janice menepi sedikit lalu mengangkatnya.

"Gimana? Yang gue minta udah lo kerjain?"

"..."

"Nggak masalah kalau dua hari lagi baru bisanya, palingan ngedit gitu doang. Oh ya, gimana sama perempuan itu? Lo beneran tahu temennya?"

"..."

"Great! Good job for you, dear! Bye, see you tomorrow!"

"Kebebasan, I'm coming."

_______________________

*DL : Derita Lo.

Bukan Jodoh Impian  [Terbit Ebook]Where stories live. Discover now