15

969 93 2
                                    

Banyak orang yang memilih cokelat untuk menaikkan mood di saat gundah gulana, tapi bagi Janice mood booster yang paling ampuh adalah semangkok makanan yang pedas dan panas. Sangat kontras memang dengan pola makan Janice yang serba low fat demi menunjang tubuhnya agar tetap proporsional dan voila! Dari kafe Karen Janice langsung meluncur ke warung bakso yang sedang viral karena tingkat kepedasannya yang bisa di bilang, uedan poll!

Meskipun sebenarnya Janice begitu penasaran bagaimana sensasi makan langsung di tempat, Ia tak bisa melakukannya. Gawat jika ada paparazzi yang memotret nya dan membuat tagline berita yang tidak-tidak, seperti di anggap mendadak miskin misalnya. Cukup di anggap sial dengan mendapat suami yang not standar jangan di tambah dengan di anggap miskin mendadak.

Lantas jika takut dengan paparazzi kenapa Janice tak memesannya lewat aplikasi saja? Bisa sih, tapi Janice takut tidak kebagian saking ramainya warung bakso tersebut. Lagipula, warung itu juga berlokasi di jalan menuju ke tower nya. Jadi sekali mendayung, pikirnya.

Sesampainya di destinasi, Janice langsung celingukan mencoba menerka-nerka di mana lokasi warung tersebut. Kata Karen, searah dengan jalan menuju ke apartemen nya. Akan tapi tidak ada satupun warung tenda yang berdiri di sini. Hanya deretan ruko maupun kios yang hampir semuanya menjual baju dan toserba, duh apa jangan-jangan Karen menipunya?

"Nyari apa neng?"

Janice berbalik.

"Walah Mbak Janice, ngapain artis di sini panas-panasan! Mending ngaso aja di tempat saya!"

"Eh, anu Buk saya nyari bakso mercon yang lagi viral!" balas nya saat seorang perempuan seumuran mamanya menyapa.

"Oh itu jualan saya, lokasinya di belakang ruko itu!" ucapnya sembari menunjuk warung yang Janice maksud.

"Mbak Janice lagi patah hati ya. Soalnya bakso saya viral karena ampuh mengatasi sakit hati di tinggal nikah, tapi nggak mungkin kalau Mbak Janice patah hati. Baru nikah juga!"

***
"Jan? Kamu lupa kalau keluarga mu melarang kamu makan pedas? Ada sakit lambung tho sampeyan?" ucap Janaka.

"Bodo amat! Mereka aja nggak perduli sama gue!"

Apa Janice tidak merasakan pedas? Kuahnya saja sudah semerah itu, Janaka tidak bisa menebak berapa puluh kali Janice menyendokkan sambal ke baksonya.

Mata Janice sudah memerah di hiasi cucuran keringat dan air mata,  Janaka semakin kebat-kebit saat netra indah itu semakin deras mengucurkan air mata. Ia jadi sangsi, apa hal itu memang murni karena Janice kepedasan atau ada hal lain?

"Jan? Kamu yakin ndak bakalan kenapa-kenapa? Kalau kamu ada masalah atau marah sama saya, kamu boleh pukul saya tapi tolong jangan sakiti diri kamu sendiri, Janice!"

Tak ada respon dari Janice, Janaka merebut mangkok yang terbuat dari keramik dari hadapan Janice. Tentu saja si empunya mengerang kesal, ibarat seorang yang sedang sakau tapi tidak di beri penangkal.

"Balikin nggak lo!" teriak Janice.

"Saya ndak bakal ngasih bakso ini, kalau kamu masih pengen makan bakso nanti saya belikan di dekat sini. Tanpa sambal ataupun saos!" seru Janaka.

Janice masih belum puas untuk meluapkan kekecewaannya, bayangan wajah bahagia romeo dan es teler menari-nari di kornea nya. Dengan memakan semangkok bakso setan bin mercon, Janice bisa mengkamuflase tangisannya. Pasalnya, Janice tidak pernah mau di anggap lemah karena sebuah tangisan, di depan Janaka pula.

Namun, sepertinya Janaka tidak mau menurutinya kali ini. Lihatlah! Pria pecinta kolor batik itu malah menuangkan kuah bakso mercon miliknya di wastafel dan apa itu! Sial, bakso milik Janice di cuci dengan air mentah.

"Saya rebus ulang baksonya, baru bisa di makan lagi," ucapnya sembari meletakkan panci di atas kompor dengan cekatan.

Tak rela, Janice meringsek tubuh jangkung itu. Setelah mood booster nya di buang Janaka, Janice jadi berfikir, kenapa dirinya tidak melampiaskannya saja pada Janaka. Toh selama ini Janice belum pernah memberikan sentuhan tangan gledeknya untuk Janaka.

Bugh!

Janaka meringis saat tangan kurus istrinya itu mengenai punggungnya, meskipun Janice memiliki tangan yang mungil kekuatan perempuan itu tak bisa di remehkan. Ia berbalik dan mematikan kompornya, mencoba menenangkan Janice yang terus melancarkan gencatan senjata berupa pukulan dan cubitan maut. Ia menarik lengan kanan Janice dan mendekap tubuh perempuan itu.

Getar tubuh Janice begitu terasa di tambah maraton degup jantung Janaka sendiri. Edyaan...seumur-umur baru sekarang ini dirinya memeluk tubuh perempuan. Ada gelenyar aneh yang mengungkung relung hatinya.

Tak berkisar lama, suara tangis berubah menjadi rintihan memilukan. Cengkraman Janice di lengannya pun mengendur, Janaka melonggarkan pelukannya dan melihat wajah Janice yang pucat pasi. Mulut Janice merintih lirih di iringi remasan di perutnya.

"Jan? Kamu kenapa?" tanya Janaka sambil mengguncang tubuh Janice.

"S-sakit---

Janaka mengangkat tubuh Janice dan membaringkannya di sofa dekat pantry, Ia mengecek keadaan Janice. Perempuan itu terus merintih sembari menekan kuat perut bagian atas. Tanpa ba-bi-bu, Ia langsung berlari mengambil kunci mobil di atas nakas lantas memapah Janice ke basement.

Pikirannya langsung tertuju ke rumah sakit, Ia yakin seribu persen jika maag Janice kambuh lagi. Berulang kali Ia di beri tahu oleh keluarga Janice agar menegur Janice jika perempuan bangor itu menyentuh makanan pedas level setan alias tidak manusiawi, tapi perempuan itu memang bebal. Dan inilah akibatnya, Janaka melirik ke samping kiri. Perempuan yang biasanya banyak nyerocos itu hanya bisa duduk terkulai lemas sambil memegangi ulu hatinya, Janaka semakin khawatir tatkala rintihan Janice semakin keras.

" Tahan sebentar Jan. Sebentar lagi sampai rumah sakit," ucapnya.

Seperti tak mendengar, Janice justru menangis sesenggukan.

Janaka prihatin melihat kondisi Janice, di ramainya deru mobil Ia membatin." Apa semenderita itu menikah denganku, Jan?"

Bukan Jodoh Impian  [Terbit Ebook]Where stories live. Discover now