12

858 82 1
                                    

"Papa tidak pernah mengajarkanmu untuk merendahkan orang lain, Janice!" desis Hadiningrat.

Hampir saja tangan keriput namun tetap kokoh di usianya yang hampir senja itu berlabuh di pipi mulus Janice, tindakan Janice yang di nilai kurang ajar memantik emosi semua orang yang menyaksikannya.

"Papa memang tidak pernah mengajarkan Janice untuk merendahkan orang lain tapi Papa juga mengajarkan Janice untuk bicara jujur dan Janice bicara jujur, Pa!"

"Tapi tidak seperti ini, Janice. Kamu sudah keterlaluan! Sekarang pulanglah dan selesaikan masalahmu dengan Janaka!" putus Hadi.

"Ini tidak adil untuk aku!" teriak Janice sembari berlalu keluar, kekecewaannya sudah melampaui batas. Keluarganya sudah di butakan dengan pria asing bermarga Prawiratama itu.

Melihat Janice pergi, Janaka juga ikut undur diri. Ia berlari mengejarnya hingga ke parkiran. Janaka memegang lengan Janice agar berhenti.

"Jan!"

"Ini semua gara-gara lo! Coba aja lo nggak ada di hidup gue, hidup gue pasti akan tenang!" Janice melepaskan tangan Janaka dari lengannya."Lo udah bikin gue berantem sama Papa!"

"Saya tahu itu kesalahan saya, tapi bisakah kita saling menata masa depan bersama. Ayolah, Janice!" pinta Janaka.

Janice tertawa sumbang."Menata masa depan? Sama lo? Yang benar saja! Lo pikir hidup gue nggak bakalan di sorot kalau seandainya gue hidup sama orang gila kayak lo!"

"Udah deh sana! Lo nggak perlu nahan gue kayak gini!"

***
Sepulangnya dari rumah nenek, Janice hanya berdiam diri di kamar. Hal itu tentu saja membuat Janaka khawatir jika Janice melakukan yang tidak-tidak.

Berulang kali Ia mengetuk pintu dengan stiker happy smile, tapi tidak ada balasan dari si empunya. Janaka mengesampingkan ego dan amarahnya kepada Janice, Ia tahu Janice hanya mengutarakan keadilan untuknya. Andai saja Janice bisa di ajak berbicara dengan kepala dingin, mungkin hubungan mereka akan baik-baik saja.

"Jan? Saya minta maaf kalau selama ini saya jadi beban untukmu, mari bicara dengan kepala yang dingin. Saya janji akan mendengarkan semua keluh-kesah dan cari solusi bersama-sama."

"Jan?"

Diam. Tidak ada sepatah suara pun yang terdengar, Janaka berbalik menuju ke kamarnya. Ia akan mencoba memanggil Janice dari pintu yang berada di kamarnya, kebetulan pintu itu terkoneksi langsung dengan kamar Janice. Awalnya Janaka tidak mengetahui keberadaan pintu itu karena tersamarkan oleh tirai yang sengaja di pasang untuk menutupinya.

Tok! Tok!

"Jan? Saya boleh masuk tidak?"

Tidak ada jawaban. Jika Janaka tetap menunggu Janice berbicara, maka tidak akan ada selesainya. Janice tetap bungkam kalau Ia tidak berinisiatif sendiri.

Bunyi klik terdengar bebarengan dengan terbukanya pintu yang menghubungkan kamarnya dan kamar Janice, Janaka berjalan pelan lantas menemukan sang puan sedang duduk melamun. Di depannya, tergolek lemah sebuah kalung yang di gunakan sebagai mahar pernikahan sudah hilang bandulnya. Janaka sakit hati saat pemberiannya harus di perlakukan seperti itu.

Ia menyentuh bahu Janice perlahan, meskipun perlahan tapi tetap saja si empunya tidak suka.

"Kenapa lo nggak ngaku aja sih kalau lo gila!"

Janaka terkesiap, saat pertanyaan ataupun tuduhan itu mengudara begitu saja. Gila? Sejak kapan Janice membunyikan kata itu.

"S-saya nggak gila, Janice!"

Janice menatap lekat sosok pria yang sedang menunduk di depannya."Lalu untuk apa obat yang di kirimkan sekretaris lo itu?"

"I-itu hanya vitamin biasa, Jan. Saya kerap mengkonsumsinya selama di Jogja jadi saya meminta Kinan mengirimnya."

Janice tertawa."Udahlah, gue tahu itu bukan vitamin biasa. Lo lupa siapa gue?"

"Gue udah tanya sama dokter dan yah, lo kena PTSD kan?" tanya Janice dengan enteng. Perempuan ini memang tidak pernah berbasa-basi sedikit saja.

Suasana mendadak hening, Janaka masih menunduk. Ia seperti maling yang ketahuan mencuri.

"K-kamu---

"Post-traumatic stress disorder 'kan Janaka? Iya atau nggak?" Janice sengaja memancing, mungkin perempuan itu sedikit gila karena merasa senang melihat seseorang terluka.

Janaka mendongak, binar matanya meredup dan bibirnya terkatup pucat. Jarinya mendadak tremor dan sayup-sayup terdengar suara itu.

"Orang gila!"

"Orang gila!"

"Orang gila!"

"Lihat bro, dia orang gila yang pake seragam SMA!"

"Hahaha, kok sekolah mau sih nerima orang gila kayak dia!"

Bukan Jodoh Impian  [Terbit Ebook]Where stories live. Discover now