13

872 87 2
                                    

Janaka menutup kedua telinganya rapat-rapat, suara sumbang dan tawa menggelegar di gendang telinganya. Ia merapalkan kalimat penenang agar jiwanya tidak goyah, Ia masih cukup sadar untuk tidak memperlihatkan sisi lainnya di depan Janice.

"Ganteng sih, tapi bekas tante-tante!"

"Kata Mbakyu ku dia sering di pake sama tante nya!"

"Owalah, dasar murahan!"

Di gelapnya mata, Janaka masih bisa melihat wajah ayu Janice yang mengguncang tubuhnya. Meskipun bukan kekhawatiran yang tulus Janaka tetap tersenyum, perempuan itu masih memiliki empati kepadanya.

***

Janice mengerang sebal karena lagi dan lagi Janaka pingsan. Ini benar-benar tidak bisa di biarkan, pria itu seperti sengaja menghindari pertanyaan yang Ia lontarkan. Apa pria itu belum siap jika jati dirinya yang asli di ketahui semua orang?

Yah, Janice saja memang yang baru tahu tentang penyakit atau kelainan yang di miliki Janaka. Kemarin, Ia tak sengaja menemukan sebuah obat penenang dan anti depresan yang di kirim bersama cermin. Karena dirinya tak suka berspekulasi, Ia langsung menanyakan perihal obat tersebut kepada dokter kenalannya dan dari situlah Ia mendapat kesimpulan jika Janaka mengidap Post-traumatic stress disorder.

"Kata dokter PTSD terjadi setelah pengidap mengalami sebuah peristiwa mengerikan di masa lalu, apa Janaka pernah mengalami sesuatu yang buruk di masa lalu?" batin Janice di dalam hati.

"Owalah, iya! Janaka juga pernah pingsan pas ketemu tantenya Karen. Apa jangan-jangan perempuan itu ada hubungannya dengan---

" Jan, saya haus."

Lamunan Janice harus buyar karena suara lirih Janaka yang meminta air. Misi balas dendam atau meluapkan emosi biar Ia tahan dulu, sekarang misinya adalah mengorek masa lalu Janaka. Setelah gelas berisi air putih terangsurkan ke tangan Janaka, Janice mengkorelasikan berbagai kejadian yang akhir-akhir ini terasa janggal baginya.

Melihat air minum sudah tandas, Janice buru-buru menyela."Lo belum jawab pertanyaan gue tadi? Lo beneran kena PTSD?"

Sorot mata ragu masih menyinari netra milik pria jawa itu, agak susah untuk mengeluarkan suara meskipun cicitan sekalipun.

"S-saya pernah trauma sama seseorang, Jan. Tapi untuk saat ini Saya belum bisa cerita banyak sama kamu, tolong  beri saya pengertian," lirih Janaka. Pria itu menunduk sambil menautkan kedua tangannya, pertanda takut.

Janice terhenyak dan mengusap lelah wajahnya. Begitu banyak masalah setelah menikah dengan pria pilihan neneknya ini, mulai dari karir nya yang semakin kesini semakin flop bahkan endorsment yang semula datang silih berganti pun mendadak lenyap bak di telan topan hingga kepribadian Janaka yang semakin hari membuatnya bertanya-tanya. Apa jangan-jangan, neneknya sengaja menjodohkannya dengan pria yang tidak waras? Kalau benar, neneknya sangat keterlaluan.

Beralih dari hayalannya, Janice kembali menatap Janaka. Masih dengan kondisi yang sama, menunduk dan seolah terintimidasi.

"Gue nggak perduli lo pernah trauma sama siapa dan trauma karena apa. Gue cuma mau lo ngaku aja biar gue bisa bebas dari lo, lo ngerti kan?" Janice berusaha menjelaskan unek-uneknya.

"Coba aja lo di posisi gue, kehilangan sesuatu yang udah lo bangun dari nol dalam waktu sekejap. Masih bisa tidur nggak?" cecar Janice.

"Maaf Jan," cicit Janaka.

"Terserah! Yang penting dalam waktu satu tahun ini gue harus udah selesai sama lo, ingat Janaka jangan pernah main-main sama gue!"

***
Membuka instagram adalah aktivitas yang hampir beberapa waktu belakangan ini Janice hindari. Demi kesehatan mental dan kemaslahatan hatinya, Ia benar-benar membiarkan aplikasi itu berdebu.

Tapi untuk hari ini, tidak! Entah dorongan darimana, dirinya ingin sekali membuka aplikasi tersebut dan berselencar di dunia maya. Postingan pertama berasal dari salah satu aktris yang sedang naik daun, tak ada yang istimewa hanya sebuah swafoto bersama rekan aktris lainnya. Janice harus mengakui kalau dirinya sangat iri dengan momen tersebut, syuting adalah makanan wajib baginya dulu.

Semakin semangat menggulir layar, Janice akhirnya berhenti di sebuah foto undangan dengan dominasi warna emas dan perak. Matanya membelalak begitu melihat nama siapa yang tertera sebagai mempelai putra dan mempelai putri.

"Holly shit! Mereka benar-benar ingin membuatku hancur tak bersisa!"

Bukan Jodoh Impian  [Terbit Ebook]Where stories live. Discover now