23

1K 110 4
                                    

Aroma lezat yang bersumber dari sepotong cheesecake nan lembut menemani Janice menunggu Karen. Berulang kali dia menusuk-nusuk permukaan kudapan tersebut, takjub dengan resep yang di olah oleh sang juru masak. Teksturnya benar-benar lembut dan visual nya sangatlah mulus tanpa cacat. Ah, andai saja hidup seperti ini. Mulus tanpa satu lubang yang mengganggu jalannya kehidupan.

Tapi sayang, khayalan Janice hanya semu belaka. Sejak dia menyandang predikat sebagai anak tunggal dan bermarga Prameswari, hidupnya tidak lagi bisa straight to the moon.

Di tambah dengan hadirnya Janaka yang penuh teka-teki itu di hidupnya. Tidak di sangka, sosok yang dulu membuatnya benci setengah mati justru mengubahnya menjadi penasaran setengah mati. Lewat luka itu Janice semakin ingin tahu tentang Janaka, bagaimana pria itu mendapatkan nya? Siapa yang membuatnya atau lebih tepatnya kapan luka itu di goreskan dan apa luka itu yang membuat hidup Janaka menjadi serumit ini?

Hah, jawabannya susah sekali di dapat. Dan Janice berharap bahwa apa yang di ucapkan Karen tadi malam bisa menjadi salah satu jawaban atas apa yang terjadi.

"Mbak? Sorry, gue baru aja bisa keluar dari rumah. Tadi pagi Om gue jatuh di dekat kolam terus pingsan deh. Pokoknya hectic banget deh keadaan rumah." Karen datang dengan tergopoh-gopoh.

"Sis!" Karen memanggil salah satu pramusaji nya."Fruity lemon squash satu."

"Buruan lu mau nunjukin foto apaan, Ren? Dari semalam gue kepo tahu!" Janice menyingkirkan apple cooler di mejanya, membuat ruang.

"Nggak di sini ya, Mbak. Di ruangan gue oke?"

Janice mendengus karena lagi-lagi Karen mengulur-ulur waktu. Dengan helaan nafas, Janice membawa minuman nya dan mengikuti Karen yang sedang mengambil minumannya.

Ruangan Karen terasa homey , foto-foto keluarga nya nampak menempel di dinding hanya foto tante Meli saja yang nampak tidak ada.

"Mbak? Gue nggak maksud bikin hubungan lu sama Pak Janaka renggang, Mbak. Tapi rasanya foto yang gue temukan ini bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengusik pikiran lu."

Janice mengangguk. Mukanya terlihat tegang apalagi saat Karen menunjukkan wajah yang sama-sama tegang bahkan terlihat takut. Dia mengeluarkan amplop kecil dari dalam tas nya. Mendorong ke depan Janice dan mengangguk mempersilahkan Janice untuk membukanya.

Tangan Janice sedikit bergetar, entah kenapa amplop itu terlihat sulit sekali untuk di buka.

Satu persatu Janice mengeluarkan sublimasi paper dari dalam amplop putih itu. Kertas itu terbalik sehingga Janice semakin tegang untuk membaliknya dan melihat fotonya. Begitu di balik, Janice terpaku.

Satu detik. Dua detik. Tiga detik.

Air matanya turun. Mulutnya tertutup rapat-rapat dan lidahnya kelu untuk bersuara barang mengucapkan satu kata saja. Pendingin yang menguar di seluruh ruangan terasa panas, sepanas hatinya.

Dengan tergesa, Janice meraih gelas nya. Meneguk apple cooler hingga tandas untuk menghalau sesak di tenggorokan nya. Barulah setelah itu, Janice bersuara. Tidak banyak hanya satu kata saja yang sekiranya mewakili perasaan nya.

"Janaka,"lirih Janice.

                                   🕊️🕊️🕊️

Tubuh lunglai Janice tersampir di sofa, kakinya meringkuk sambil menatap lilin aromaterapi yang wanginya tidak mampu menenangkan hatinya seperti biasanya.

Apalagi rumah terasa sepi karena Janaka izin menemui temannya. Janice ingin menangis tapi air matanya tidak ada yang mau keluar. Miris sekali rasanya.

"Jan?"

Tubuh Janice menegang. Dia bangkit dari sofa dan langsung menghambur ke arah pintu. Tangannya langsung mendekap tubuh Janaka, hal langka kedua yang di perlihatkan oleh Janice  setelah tadi malam dia memasak untuk Janaka. Pelukan tiba-tiba itu yang membuat Janaka kaget bukan main, dia bahkan belum membalas pelukan Janice untuk sepersekian detik.

"Jan, kamu kenapa? Ada yang bikin berita aneh-aneh lagi sama kamu, hem?" Janaka mengusap punggung Janice.

Dari dalam pelukan, Janice menggeleng.

Karena tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan istrinya itu, Janaka hanya berusaha untuk meredakan tangis Janice. Dia membimbing Janice agar duduk di sofa, barulah setelah duduk, Janaka mengurai pelan pelukan Janice dan menatap wajah sembab yang masih terlihat ayu itu.

"Cerita sama saya apa yang sedang terjadi, Jan?"

Janice menatap lurus mata kecoklatan milik Janaka. Tangannya menangkup wajah yang dulu pernah dia caci itu. Mengelus lembut kelopak mata Janaka. Sedangkan si empunya wajah kebingungan.

"Janaka?"

"Iya, Janice. Ada apa?"

"Kamu pernah mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan dari tante Meli kan?"

Pias, wajah Janaka berubah menjadi seputih kapas. Mungkin kalau di gores, tidak ada darah yang keluar dari dalamnya. Kalimat itu juga mampu membekukan wajah Janaka untuk sepersekian detik sebelum Janice membungkam bibirnya, mengajaknya untuk bertukar emosi.

Tapi kepala Janaka tidak mampu melupakan pertanyaan itu jika ciuman yang di bubuhkan Janice di gunakan untuk membuat dia lupa.

"Ka-kamu sudah tahu masalah itu?"

Anggukan di kepala Janice membuat jantung Janaka mencelos. Kenapa Janice harus mengetahuinya dari orang lain?

Janaka melepas tautan tangan Janice. Dia membuang wajah malu.

"Jan?" Janice meraih wajahnya dan membuatnya kembali menatap maniknya.

"Iya, saya pernah--" suara Janaka tersendat. Tenggorokan nya seperti tersumbat.

"I'll give you strength, Jan. Kalau kamu belum siap untuk cerita. I'll be waiting!" Janice mengucapkan mantra saktinya yang membuat hati Janaka sedikit menghangat. Dia masih berharap kalau perlakuan Janice ini bukan semata-mata karena kasihan tapi karena perasaan cinta, meskipun mustahil rasanya.

Tapi kenapa pelukan Janice dan panggilan aku-kamu itu terasa sangat tulus. Dan dua hari ini, ya dua hari ini, Janaka bahkan tidak ketakutan untuk skinship dengan orang lain. Bahkan dia sudah agak jauh dengan Janice saat Janaka membiarkan Janice menyentuh kulitnya langsung. Kalau sudah begini Janaka juga tidak akan menutupi apapun dari Janice.

"Nggak, Jan. Saya akan cerita sama kamu. Tapi..." Ada jeda cukup lama sebelum Janaka menuntaskan ucapannya.

"Jangan pernah lepaskan tangan saya selama saya cerita. Kamu bisa?"

"Bisa. I can do it for you!" ucap Janice dengan semangat.

Bukan Jodoh Impian  [Terbit Ebook]Where stories live. Discover now