27

1.1K 102 4
                                    

Ruangan di biarkan gelap karena lampu sang pemberi kecerahan sengaja di padamkan, asap sigaret membumbung tinggi bak jelaga. Pikiran Janaka terasa berat, mungkin selama 27 tahun hidup, sekaranglah dia berada pada titik nadir kehidupan. Bahkan masa lalu yang kelam berhasil dia terjang dan bangkit kembali tapi membayangkan kehilangan Janice?

"Ah, kepala saya pening sekali." Janaka mengaduh. Di letakan nya lintingan tembakau di atas asbak.

Tenggorokan Janaka terasa kering akibat terlalu banyak menghisap rokok. Tak ingin terkena peradangan karena dia masih ingin memperjuangkan kisah cintanya kepada Janice, Janaka berdiri hendak mengambil minum.

Suara gesekan sandal rumah dengan lantai begitu kentara terdengar. Sesaat setelah menekan dispenser, Janaka terkesiap mendengar gedoran pintu yang cukup keras. Dia menebalkan telinganya.

Tok! Tok! Tok!

"Mas?!"

"Mas?!"

"Bukain pintu!"

Dahi Janaka berkerut. Apa delusi nya sudah memburuk hingga suara Janice terngiang-ngiang? Tapi kalau hanya delusi kenapa suaranya tidak berhenti.

Dengan sedikit berlari Janaka menuju ke pintu depan. Bibirnya melengkung ke atas saat perempuan dengan kaos berwarna putih dan jeans panjang itu menghambur ke pelukannya.

"Mas? Ayo kita kabur?" Pertanyaan spontan yang keluar dari mulut Janice membuat bibir Janaka membentuk garis tipis.

"Kok kamu diem aja sih? Nggak mau kabur sama aku? Katanya kamu cinta sama aku? Mana buktinya?" Janice melemparkan pertanyaan bertubi-tubi tanpa memberi kesempatan kepada Janaka untuk menjawab.

Sedangkan yang di tanya hanya terpaku sambil mengerutkan dahinya seolah sedang berpikir keras. Barulah setelah di sentil oleh jemari mungil Janice, Janaka bersuara.

"Kabur kemana?" Ada tawa yang terselip di antara kalimat tanya itu.

"Terserah, Mas. Yang penting jauh dari Jakarta. Aku nggak mau Papa misahin kita!"

"Kita ke Jogjakarta yuk, Mas. Besok kan kamu ada panggilan kerja di sana. Sekalian aja kita kabur. Kok diam sih? Buruan ambil koper!"

Mereka berdua masih ada di depan pintu, sama-sama saling berhadapan.

"Jan? Masuk dulu ya? Kita omongin di dalam." Janaka bergeser memberi jalan kepada Janice agar masuk. Baru satu jengkal berpindah tempat, Janice di buat kaget dengan seruan dari arah belakang.

"Kenapa kamu kabur dari Papa, Jan?"

Tubuh Janice menegang. Lehernya kaku untuk sekadar menoleh. Oleh karena itu, dia lebih memilih melanjutkan langkahnya dan bersembunyi di belakang tubuh besar Janaka.

"Papa? Mari masuk," sapa Janaka kepada mertuanya itu.

Hadi memilih masuk untuk berbicara. Setelah mendapat wejangan yang cukup panjang lebar dari Ibu nya, hatinya yang semula panas bak magma di perut bumi perlahan mendingin, sedingin gletser. Mungkin ucapan Sekaryan benar, kebahagiaan Janice adalah Janaka. Bukti valid ada di depan matanya, selama 26 tahun putrinya itu hidup, tidak pernah Hadi melihat Janice berlindung di belakang punggung orang lain.

Dengan seperti itu, Hadi yakin kalau Janice sudah menganggap Janaka sebagai pelindungnya, sebagai imam yang di jadikan pemimpin.

"Silahkan duduk, Pa?" Setelah mempersilahkan mertuanya duduk, Janaka memberikan kode kepada istrinya untuk membuatkan minum. Tapi karena istrinya itu masih dalam dark mode alias sedih dan gegana, maka Janaka lah yang bertindak.

"Tidak usah, Nak. Papa sudah minum di rumah." Tatapan Hadi beralih ke wajah putrinya."Janice! Berhenti bersikap kekanak-kanakan. Kalau kamu mau masalah ini cepat selesai, duduk yang benar dan bicara sama Papa dengan kepala dingin!" tukas Hadi.

Meski ogah-ogahan, Janice tetap mengikuti peraturan yang di canangkan oleh sang Papa. Dia juga ingin masalahnya cepat selesai.

"Yang pertama, Papa mau minta maaf sama Janaka. Maaf kalau ucapan Papa ada yang menyakiti kamu dan harusnya kamu tahu kalau saya melakukan hal seperti itu karena semata-mata ingin Janice bahagia."

"Saya menyadari itu, Pa. Maaf juga kalau perbuatan saya di masa lalu---"

Hadi mengangkat sebelah tangannya dan menggeleng."Bukan kesalahan mu. Mari kita lupakan masa lalu itu dan fokus dengan masa depan."

"Janice, Papa juga minta maaf. Papa nggak tahu kalau kebahagiaan kamu itu adalah Janaka, sungguh Papa menyesal pernah berucap ingin memisahkan kalian. Tapi percayalah, Papa seperti itu hanya karena ingin kamu bahagia."

Entah sudah tidak kuat menampung rasa emosi di hati atau karena saking terharunya, Janice menangis dan memeluk sang Papa erat. Suaranya teredam oleh tangisan nya. Tapi hatinya cukup lega karena tidak ada lagi yang menghalangi hubungannya dengan Janaka.

"Pa, mengenai masalah yang sedang terjadi, Janaka janji akan menyelesaikan nya. Semisalnya perusahaan keluarga Prameswari mengalami penurunan saham, Saya berjanji akan membantu mencari investor yang baru. Saya juga tidak segan-segan akan menyerahkan perusahaan saya kepada Papa jika kemungkinan hal terburuk terjadi." Janaka bertutur panjang lebar.

"Sudahlah, Nak. Perusahaan kami baik-baik saja. Nenek Janice sudah menyuruh media untuk men-take down semua headline berita di seluruh portal berita. Tapi yang saya minta sama kamu cuma satu, pastikan Janice bahagia bersama kamu!"

Janaka mengangguk mantap. Meski begitu, dia sudah punya tekad, dia ingin menyelesaikan masalah ini secara tuntas. Menemui Meli adalah kunci keberhasilan tekadnya.

"Itu pasti, Pa. Kebahagiaan Janice adalah hal mutlak bagi saya."

Hadi menepuk pundak putra menantunya.

"Terimakasih sudah memberikan saya kepercayaan untuk menjaga Janice, Pa."

Setelah aksi berpelukan antara Dad And Son In Law  itu, Hadi mencibir putrinya."Kamu yakin nggak mau salim sama Papa and say sorry for going without permission?"

"Sorry." Janice kembali memeluk Papa nya." Tapi Janice tetap mau kabur Pa dari rumah. I need a fresh air!"

Hadi dan Janaka kompak tertawa, mereka tidak menyangka si keras kepala yang suka meng-underestimate orang lain itu sudah berubah. Allah memang maha membolak-balikkan hati seseorang.

"Kabur kemana pun yang kamu mau, tapi kamu harus ingat alasan untuk pulang. Terkadang kita harus lari dari masalah agar tidak kena masalah yang baru!" ucap Hadi sebelum pamit.

"Kata-kata dari siapa tuh? Mana bisa lari dari masalah?" tanya Janice.

Bukan Hadi yang tertawa melainkan Janaka."Miracle word dari Papa, Jan."

                                🕊️🕊️🕊️

Bukan Jodoh Impian  [Terbit Ebook]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora