18

815 86 1
                                    

Bahu Janice terasa kebas setelah di tindih Janaka selama hampir satu jam. Bilangnya cuma sebentar, tapi malah molor. Ingin hati bergeser menjauh, pria itu malah melilitkan tangannya di pinggang Janice.

Janice sungguh kesal sekarang, membiarkan pria itu bersandar di pundak nya adalah pilihan yang salah. Janaka justru terlena. Bahkan pria itu tetap tak bangun saat Janice menarik kumisnya, alhasil Janice harus terkukung dengan pria super duper menyebalkan itu.

Ia mendorong keras tubuh kurus itu dan sayangnya meskipun kurus, tubuh Janaka tak ubahnya seperti beras berpuluh-puluh kilogram. Terasa berat dan sukar di enyahkan dari tubuhnya yang mungil.

Janice mengerang frustasi, usahanya sia-sia. Ia mencoba membangunkannya dengan kaki, tapi tetap tak menunjukkan tanda-tanda akan bangun.

"Oh...Mama ganggu ya? Ya udah mama keluar aja, rest well sayang!"

Janice terkejut saat Mamanya masuk dengan tiba-tiba. Ia tak mau Mamanya berfikir aneh-aneh dengan posisi seperti ini...ewh, apalagi jika Mamanya berfikir kalau Janice sudah menerima Janaka sebagai suaminya. Oh no! Itu tak boleh terjadi.

"Mama, bangunin nih. Pegel tau!" dengus Janice.

"Pegel apa pegel? Pegel kok diam aja," goda Sekar.

"Jangan-jangan kamu suka ya di peluk kayak gitu..iya kan?" tanya Mama nya sambil menaik-turunkan alisnya.

"What the fudge! Amit-amit Janice suka sama pria kayak gini, mending jadi perawan tua!" sungutnya.

Kebisingan yang di buat Janice terdengar juga oleh Janaka, pria itu mengerjap-ngerjapkan matanya dengan polos.

"Loh Ibu sudah sampai? Maaf saya ketiduran tadi."

"Ndak apa-apa, Ibu juga baru aja sampai. Oh iya nak Janaka kalau masih mengantuk lanjut saja tidurnya," jawab Sekar.

Janaka menggeleng. Tidurnya sudah sangat cukup dan terasa nyenyak, Ia melirik ke arah Janice yang terlihat kesal. Astaga, pasti Janice kesal karena dirinya bersandar di bahu Janice terlalu lama.

"Nak Janaka mandi dan ganti baju saja di apartemen, nanti urusan Janice biar Ibu yang nge-handle."

"Wah, memangnya Ibu ndak capek tho?"

Sekar menggeleng, Ia tahu kalau putra menantunya itu sedang banyak masalah di pekerjaan. Jadi membiarkannya menemani Janice yang sama sekali tidak bersahabat dengannya bukan pilihan yang tepat.

"Baiklah, Bu. Jan saya pamit pulang dulu, nanti saya kesini lagi."

"Nggak kesini juga nggak masalah, gue malah seneng," balas Janice sarkastik.

"Hust, nggak boleh bicara seperti itu sama suami. Ingat dosa, Jan!" Sekar menegur sikap Janice yang semena-mena dengan Janaka.

"Yah kalau memaksakan kehendak orang lain dosa  nggak bu? Itu merugikan orang lain loh?"

Sekar menghela nafas." Sudah nak Janaka, jangan di dengarkan. Biasa Janice kalau penyakitnya kambuh menjalar kemana-mana termasuk otaknya, jadi rada ngawur kalau ngomong," ucap Sekar menengahi keduanya.

***

Setelah mendapat kunjungan dari dokter, Janice di perbolehkan untuk pulang. Tak ada yang perlu di khawatirkan hanya saja Ia harus menghindari makanan pedas, kecut dan asam. Lagu lama sih sebenarnya, dari dulu Janice sudah di ingatkan agar mengurangi makanan yang menjadi pantangannya.  Namun, berulang kali juga Ia tidak mengindahkannya.

Merasa sudah bugar, rencananya Janice akan mengajak Janaka untuk menemui salah satu make up artist ternama yang merangkap menjadi fashion stylist dan juga hair stylist. Siapa tahu tangan ajaib rekannya itu mampu membuat Janaka agak beda.

Ya walaupun tak langsung berubah menjadi henry cavill atau jungkook, yang penting tidak terlalu memalukan lah untuk bahan gandengannya. Dan kebetulan sekali, MUA yang akan Ia temui masih sepupunya dari pihak Mama, jadi Janice tidak perlu khawatir jika rencananya mengubah penampilan Janaka akan terkuak oleh media.

"Kita mau jalan kemana, Jan? Kamu kan baru pulih, nanti kalau kambuh lagi gimana?"

"Udah ikuti aja maps nya, nanti lo juga tahu," ucap Janice.

Suasana hening kembali menyergap, Janice yang masih fokus melihat-lihat katalog baju dan Janaka yang tetap fokus mengikuti petunjuk arah digital.

Setengah jam kemudian, mereka berdua sampai di sebuah bangunan yang mengusung tema aesthetic dengan dominasi warna pastel. Janice turun terlebih dahulu di lanjut Janaka yang berjalan di belakangnya, walaupun tak mengerti apa yang akan di lakukan Janice Ia sungkan untuk melayangkan protes apalagi keluhan. Padahal, masalah kemarin belum sepenuhnya clear dan seharusnya hari ini Janaka ada internal meeting dengan pakdhe nya.

Memasuki pelataran bangunan tersebut, mereka langsung di sambut dua orang resepsionis dengan sopan.

"Selamat datang di Kiyu Beauty, reservasi atas nama siapa?"

"Janice Prameswari."

Dua resepsionis itu mencari namanya di daftar panjang, sambil menunggu, Janice mengedarkan tatapannya berusaha menjelajah interior yang memanjakan matanya. Dulu, Janice ingin memiliki rumah yang di penuhi warna pastel yang terasa sangat indah dan enak di pandang.

"Jan? Ngapain kita kesini?" tanya Janaka setengah berbisik karena takut terdengar oleh dua resepsionis di depannya.

"Make over lo lah! Besok lo harus nemenin gue kondangan dan gue nggak mau lo pakai style buluk kayak gini, mau di taruh di mana muka gue?"

"Ma-ma-maksudmu? Jan, saya nyaman pakai baju seperti ini. Saya ndak mau!"

Janice tak mengindahkan rengekan Janaka, Ia melenggang dengan cantik memasuki ruangan ber-AC setelah di persilahkan oleh resepsionis. Meskipun, Kiyu Beauty milik sepupunya, Janice tetap mematuhi protokoler saat bertandang.

"Jan! Saya mohon," ucap Janaka. Gelagatnya seperti orang ketakutan, tapi Janice masih pede berjalan tanpa memikirkan Janaka.

Merasa tak di gubris, Janaka menarik lengan Janice. Ia menggeleng, Ia menatap Janice dengan ekspresi,"Aku mohon pulang saja."

"Sekali nggak ya nggak, yang nikah itu saingan gue. Kalau besok gue bareng lo yang burik kayak gini, gue bakal di hujat habis-habisan!"

Janaka pasrah. Ia tetap tak bisa melawan kediktatoran Janice.

"Gusti, tolong hamba mu kali ini!" batin Janaka di dalam hati.

Bukan Jodoh Impian  [Terbit Ebook]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang