9

897 89 3
                                    

Janaka menggeliat pelan saat dahinya merasa dingin, Ia merasakan kedamaian saat tangan lembut itu menyentuh dahinya. Membelai, mengusap dan membuat dirinya merasakan kehadiran sosok Ibu. Buaian ini membuatnya tenang dan aman, Ia mendengarkan sayup-sayup suara burung dan gemercik air yang saling bersauh. Tangan lembut itu mendekapnya kian mendekat, dekat dan sangat dekat...

"Woi, bangun! Ngapain lo senyam-senyum sambil merem, ngimpi ya lo!" Janice berkacak pinggang di depan Janaka yang masih kebingungan.

Bukannya tadi Ia berada di...ah sial! Angan-angan tadi hanya bersemayam di mimpinya saja, padahal Janaka sudah senang bukan kepalang saat Janice menyentuh kepalanya, merawatnya penuh kasih sayang.

"Gue mau pergi ke kosan Karen! Lo di rumah baik-baik," ucap Janice. Dirinya tidak meminta izin pada Janaka, Ia hanya tak ingin pria itu melakukan kejadian seperti tempo lalu.

"Hati-hati, Jan. Jangan terlalu sore."

Tidak membalas, Janice hanya berlalu begitu saja. Janaka menyibak selimutnya dan beranjak keluar dari kamar, di sana Janice sudah tidak ada.

***
"Mbak? Gue udah kongkalikong nih sama Kinanthi, dia udah setuju kok kalau nenek lo nanya-nanya ke dia," ucap Karen di sela aktivitasnya mengunyah keripik kentang.

"Jadi sekretaris nya Janaka namanya Kinanthi? Wuih.. Pasti tipikal cewek lemah lembut gitu ya?" Janice menyerobot bungkus snack berwarna biru itu.

"Nah, makanya lo harus hati-hati. Nanti kalau Pak Janaka oleng ke dia, begimana?"

"Soalnya ya, Kinanthi tuh masih cinta banget sama Pak Janaka. Apa ya istilahnya...oh ya to the bone!" timpal Karen.

"Ya syukurlah, kalau begitu gue kan bisa bebas dari dia," ujar Janice dengan pongah.

Karen mencibir." Kok gue mencium aroma-aroma 'benci jadi cinta' ya?"

Janice melempar bungkus snack yang sudah kosong ke arah Karen, perempuan yang sudah menjadi asistennya selama bertahun-tahun ini memang sudah seperti adiknya. Suka nyablak, nggak tahu malu dan julid.

Mereka berdua sedang duduk selonjoran di depan tv LCD yang menayangkan variety show. Entah kenapa tiba-tiba Karen membahas tingkah Janaka yang pingsan saat melihat tantenya.

"Mbak, kok Pak Janaka bisa pingsan ya ketemu sama tante gue?"

Janice mengedikkan bahunya. Dirinya pun bingung mau menjawab apa. Pasalnya, Janaka tidak mungkin pingsan saat bersitatap dengannya dan juga Karen. Pria itu sudah bertemu dengan Karen di Bandara setelah dari Jogja dan tidak apa-apa.

"Kayak orang trauma gitu, dulu sepupu gue pernah trauma sama seseorang. Yah, dia kalau lihat tuh orang bisa pingsan terus ya kalau dia ingat sama masalah yang bikin dia trauma dia bisa self-harm dan ngamuk gitu."

"Janaka kemarin ngamuk si, Ren. Dia bikin cermin kesayangan gue pecah, kamarnya juga berantakan kayak benda-bendanya sengaja di banting gitu," celetuk Janice sambil menyesap minuman berkarbonasi.

"Udahlah, nggak usah mikirin dia. Sekarang yang terpenting  adalah rencana kita. Gue takut kalau nenek gue nggak percaya sama---

" Gue udah rela nyebur ke kubangan dosa gara-gara lo ya Mbak. Kalau lo pesimis kayak gini gue mundur sekarang nih!"

"Eits..enak aja, gue udah pesenin tas lo. Gue nggak pesimis tapi berkaca pada realita, nenek gue itu orangnya nggak gampang percaya sama berita recehan."

Karen nampak berpikir, dahinya mengerut dan bibirnya manggut-manggut.

"Gue punya ide, Mbak! Sini gue bisikin!"

Janice menurut saja bak kerbau di cucuk hidungnya. Karen merapalkan rencana demi rencana yang bisa di terima oleh otaknya, kenapa Janice baru sadar kalau asistennya ini punya otak yang encer.

"Gue setuju sama lo, Ren!"

Bukan Jodoh Impian  [Terbit Ebook]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin