16

879 82 2
                                    

"Pakdhe, sikap saya memecat Kinanthi dari perusahaan sudah benar. Perempuan itu bisa jadi ancaman di rumah tangga Janaka."

"Tapi, Jan. Kamu 'kan tahu berapa banyak saham dari keluarga Kinanthi yang ada di perusahaan, Pak camat mengatakan kalau kamu tetap kekeh memecat Kinan maka beliau akan menarik semua saham dari perusahaan kita!"

Janaka mengurut dahinya pelan, pemecatan sepihak yang Ia layangkan kepada Kinanthi ternyata berbuntung panjang. Pak Handoko menuntut akan menarik sahamnya jika putri semata wayangnya itu benar-benar di pecat dari perusahaan herbal miliknya. Dan tentu saja, imbasnya adalah perusahaan kekurangan supplier juga untuk memasok bahan herbal yang memang selama ini berasal dari kebun Pak Handoko. Kalau masalah penarikan saham, Janaka tidak terlalu pusing sebab setelah menikah dengan Janice, keluarga Prameswari turut serta menanam saham di perusahaannya. Namun untuk supplier Ia bakal kelimpungan jika Pak Handoko ikut menutupnya juga.

"Jan, kok nggak nemenin Janice di dalam? Dia udah selesai di periksa dokter, untung saja kamu gercep. Kalau ndak, Ibu nggak tahu bocah itu bakalan jadi apa."

"Oh syukur alhamdulillah, Bu. Biarkan Janice istirahat saja dulu, saya masih ada pekerjaan," ucap Janaka dengan sopan. Tadi, selepas memasrahkan Janice kepada dokter, Janaka bergegas mengabari keluarga Janice kalau putri mereka masuk rumah sakit.

Dan berakhirlah, Ayah dan Ibu mertuanya berada di sini. Sedangakan sang nenek sedang berada di Jogjakarta, katanya ada pekerjaan di sana.

"Kamu jangan bosen ya ngadepin keras kepalanya Janice, perempuan itu sebenarnya baik. Cuma..ya gitu, kadang sifat jeleknya kambuh."

"Insyallah, saya ndak akan bosen. Doakan saja semoga hubungan kami lekas membaik."

"Amin," ucap kedua paruh baya itu kompak.

Memikirkan perkataan Pakdhe nya, Janaka kembali pusing. Mungkin mencari investor untuk perusahaan nya akan terasa mudah mengingat keluarga Prameswari juga turut mendaftar jadi investor tetap, tapi untuk urusan supplier Janaka tidak yakin. Banyak petani yang membudidayakan tanaman herbal, namun belum tentu kualitas dan kuantitas nya mencukupi kebutuhan perusahaan.

"Ada masalah apa, nak Janaka?" tanya ayah mertuanya.

Janaka bingung. Ia merasa tak enak jika harus menceritakan masalah perusahaan kepada ayah dan ibu mertuanya. Namun, mereka seperti lebih tahu apa yang sedang terjadi padanya.

"Masalah di perusahaan itu akan selalu ada sepanjang perusahaan itu masih berdiri, jangan di pusingkan. Semuanya pasti ada jalan keluarnya."

"Sebenarnya masalah apa yang sedang terjadi di perusahaan kamu, Jan?" tanya Sekar menimpali ucapan suaminya.

"Ehm..hanya masalah kecil kok, yah." Janaka menggaruk tengkuknya.

"Walah dalah, ndak usah sungkan gitu tho. Kami tahu masalah yang sedang menimpa mu ini cukup pelik, jadi berbagilah. Kita ini orang tua mu juga lo!"

Janaka menceritakan semua sebab dan akibat yang membuat kepalanya pusing. Sebenarnya masalah ini memang simple, hanya karena rasa tak terima anaknya di pecat hingga menuntut menarik saham dan mogok jadi supplier.

***
"Mah?"

"Opo tho?" balas perempuan dengan rambut ala sosialita.

"Siapa yang bawa Janice ke rumah sakit?" tanya Janice dengan polos, ah bukan polos hanya berlagak tidak tahu saja.

"Kulina kamu! Ya Janaka lah yang bawa kamu kesini, emangnya di apartemen ada siapa lagi?"  jawabnya dengan berang, Sekar tidak habis pikir dengan putri kandungnya itu.

Janice memutar bola matanya malas, Ia mengambil apel yang sudah di kupas bersih oleh mama nya.

" Jan? Mbok kamu itu jangan benci-benci banget sama Janaka, dia itu tulus loh sayang sama kamu. Buktinya aja tadi Ia kelihatan khawatir banget pas kamu di tangani dokter."

Hampir saja sepotong apel meluncur bebas ke tenggorokannya. Sejak kapan pria itu sayang kepadanya? Mama nya nggak salah berkata demikian?

"Dia itu cuma mau duit aja, Ma. Lihatkan setelah menikah denganku dan nenek memutuskan untuk menjadi investor tetap, perusahaan nya semakin melambung. Yah itu tujuannya kenapa Ia dengan mudah sekali menyetujui pernikahan ini."

Sekar menghentikan kegiatannya mengupas apel." Apa kamu ndak tahu kalau Janaka sedang ada masalah sama perusahaan nya?"

Janice menggeleng. Bertingkah layaknya orang bodoh.

"Itu yang Mama nggak suka dari kamu, egois! Kamu bertingkah layaknya korban, apa kamu ndak mikir tho Janice! Seberapa besar Janaka berkorban untuk kamu?"

"Ndak tho.. Kamu pasti ndak bakalan tahu menahu soal ini dan bisa Mama pastikan sampai kapanpun kamu ndak bakalan tahu!" ujar Sekar.

"Maksud Mama apa?" tanya Janice. Kini dirinya benar-benar tidak tahu tentang pengorbanan yang di lakukan Janaka untuknya. Sepertinya bukan hal yang sepele.

Sekar duduk di kursi seraya melanjutkan aktivitasnya mengupas apel dan memotongnya supaya lebih mudah di makan oleh Janice. Baru menjawab pertanyaan putrinya.

"Ada masalah yang cukup besar di perusahaan Janaka, ya kalau mama lihat, penyebabnya sih kamu!"

Janice mengerutkan alisnya hingga sudutnya hampir saja menyatu."Kok gara-gara aku sih, Ma! Yang bermasalah perusahaan dia kenapa yang di salahin Janice!" sungutnya tak terima.

Sekar menghela napas, heran dengan attitude Janice yang keras kepala dan tidak pernah mau menurunkan harga dirinya yang di junjung setinggi langit nirwana.

"Kemarin kalau ndak salah kamu koar-koar soal perempuan bernama Kinanthi yang katanya selingkuhan Janaka itu 'kan?"

Janice mengangguk. Ingin hati menginterupsi, Sekar keburu melayangkan kode untuk diam saja.

"Ayahnya Kinanthi itu supplier bahan baku di perusahaan Herbalis milik Janaka, kemarin Janaka memecat Kinanthi agar dia tidak mengganggu rumah tangga kalian, karena ndak suka anaknya di perlakukan semena-mena di Herbalis, ayah Kinanthi memutuskan untuk berhenti jadi supplier di sana!" tutur Sekar. Apel kedua yang tadi di kupas sudah siap untuk di makan, Janice memposisikan tubuhnya setengah bersandar dengan bantuan bantal.

"Kayaknya supplier yang bisa restok bahan baku nggak hanya satu deh, Ma. Kalau satu berhenti jadi supplier kenapa nggak cari yang lain aja!" Janice mengunyah apel-nya dengan santai, lantas kembali berbicara setelah lumatannya sudah halus."Kayak gitu aja pusing!" cibir Janice.

"Mama nyesel nggak dengerin ucapan nenek dulu, kalau gini mama lebih setuju buat jadiin kamu direktur perusahaan keluarga kita! Biar kamu tahu gimana rasanya berbisnis!" Sekar mengerang kesal.

"Cari supplier itu ndak semudah ambil kerupuk di toples! Perlu menilik kualitas dan kuantitas-nya, meskipun banyak kalangan yang bisa di jadikan supplier, nggak semunya bisa memenuhi permintaan pabrik! Kamu pikir berbisnis itu hanya tunjuk sana tunjuk sini?" sambung Sekar langsung menyemprot Janice.

"Tapi kayaknya Papa mau bantu Janaka buat gantiin jadi supplier nya. Kamu tahu kan kebon Sridedari itu? Nah, kebetulan salah satu komoditi disana adalah bahan-bahan herbal!"

Perkataan Sekar membuat Janice tersedak potongan apel yang belum lumat. Setelah mengorbankan dirinya dengan pernikahan, keluarga  juga rela menyalurkan hasil ke perusahaan Janaka. Padahal Janice tahu kalau semua komoditi di sana sudah biasa di suplai ke perusahaan minuman berenergi dari Korea. Sungguh menyebalkan!

"Mah, gimana kalau suatu saat nanti Janaka ngecewain keluarga kita?" Janice menyeletuk.

"Mama yakin nak Janaka itu orang baik, kelihatannya juga sayang sama keluarga kita, Jan. Jadi mama nggak khawatir soal itu." Sekar tersenyum tulus, pertama melihat Janaka, dirinya sudah bisa melihat sorot ketulusan dari netra pria itu.

Janice menghela napas lantas mengendurkan otot punggungnya dengan kembali berbaring di atas bangsal. Di dalam hati dia membatin,"andai saja semuanya tahu kalau Janaka tidak sesempurna yang mereka kira."

Bukan Jodoh Impian  [Terbit Ebook]Where stories live. Discover now