17

866 86 2
                                    

"Rekomendasi lo nggak mujarab, Ren!" sungut Janice.

Karen menyengir sambil mengangkat kedua jarinya pertanda 'damai', Ia tak mengira Janice akan masuk rumah sakit hanya karena makan bakso aja. Kemarin, bos galaknya itu meminta sebuah rekomendasi makanan yang panas dan pedas yang enak buat mewek. Tanpa pikir panjang, otak besar nya langsung memikirkan sebuah tempat makan yang menjual bakso mercon level naudzubillah! Dan tak lupa, Karen memberitahu jikalau ingin cepat sembuh dari penyakit tak menular seperti sakit hati maka harus totalitas sampai level jontor. Yang Karen tahu sih, level tersebut menyediakan bakso mercon dengan tingkat kepedasan level 50. Hehehe, nggak masalah sih baginya itung-itung ngerjain Janice.

"Lo pulangnya kapan, Mbak? Nggak nyampe satu bulan 'kan?" candanya.

"Doa lo jelek banget sih, ngarep ya lo kalau gue sakit!"

"Lo nggak lupa juga 'kan sama ucapan lo yang 'pantang bagi Janice menghindari musuh'? Kalau nggak lupa berarti lo datang dong ke nikahannya es teler?" tanya Karen berbasa-basi.

Janice diam nampak berfikir untuk memutuskan apakah akan datang atau tidak, di satu sisi Ia tak mungkin bisa menyaksikan sang don juan mempersunting perempuan lain di depan matanya. Namun, di sisi lain Ia tak mau di anggap pengecut karena mangkir dari undangan pesta pernikahan Romeo dan Estherlita.

Tapi Janice juga tak mau datang ke pesta yang pasti semua tamu undangannya adalah artis dan juga kalangan publik figur dengan menggandeng Janaka.

"Ren? Nggak bisa ya kalau gue dateng nya sama lo aja?" tanya Janice berusaha melobi Karen.

"Bisa sih, Mbak. Tapi kan di undangan tercetak jelas 'harus bawa pasangan', dan gue udah janjian sama orang." Karen merasa tak enak mengatakan ini sebenarnya, tapi Ia memang sudah kepalang janji dengan orang lain.

Janice mendesah pasrah, satu-satunya jalan hanyalah berangkat bersama Janaka.

"Mbak gue tahu kalau lo khawatir sama..sorry penampilan Pak Janaka, 'kan?"

Janice mengangguk. Ia tak mau menjadi bahan buli bagi teman-temannya lagi, apalagi di pernikahan mantan terindahnya.

Karen menjentikkan kedua jarinya, Ia bersorak." Mbak, kenapa lo nggak make over dia aja. Siapa tahu penampilannya bisa kece badai, cucok meong kan?"

Iya ya, kenapa Janice tidak berfikir sampai kesitu. Sekarang kan banyak yang di tipu pakai make up tebal padahal wajahnya biasa-biasa saja, siapa tahu Janaka bisa berubah jadi brad pitt setelah di make over. Woah, that excellent idea!

***
Sampai menjelang sore, Karen masih setia menemani Janice. Perempuan itu di tahan tidak boleh pulang sebelum Janice ada teman yang mendampingi nya, pasalnya kedua orang tua bos nya itu sedang izin menghadiri resepsi. Sedangakan sang suami entah di mana rimbanya.

"Mbak? Coba deh lo telpon Pak Janaka, gue udah boring nih!" keluh Karen.

"Ogah ah gue males, lo sabar dikit kenapa sih! Tunggu emak gue balik!" ucap Janice mencoba menahan Karen agar tidak pulang.

Janice juga tak paham kepada semua orang, kenapa kompak sekali perginya. Janaka yang dari tadi belum muncul juga tak mengabari apakah akan datang atau tidak, dasar menyebalkan!

Berulang kali, Karen menguap. Tubuhnya juga pegal-pegal karena terlalu lama duduk.

"Jangan-jangan Pak Janaka lagi mesra-mesraan sama Kinanthi! Mumpung bini nya lagi sekong," ujar Karen.

Wah kalau benar begitu, tanpa mendrama dirinya akan segera mengirimkan gugatan agar proses percerainnya bisa cepat selesai. Unfortunately, sepertinya tidak mungkin. Baru saja di bicarakan, pintu ruangan kamarnya berderit di lanjutkan penampakan sesosok pria kurus menjulang itu.

"Oke, Mbak. Gue balik dulu ya, udah ada ayang beb tuh!" ucap Karen cekikikan.

Tak merespon, Janice hanya menyorot tajam tubuh pria yang baru masuk itu.

"Bagaimana kabarmu, Jan? Sudah lebih baik?"

Pria yang sedari tadi menjadi objek ghibah nya dengan Karen kini muncul di depannya. Wajahnya terlihat letih, sejauh ini Janice tidak pernah menatap pria itu lama. Namun, entah kenapa hari ini Janice merasa..ehm sedikit kasihan.

"Lo darimana aja sih! Kasihan Karen jadi nungguin gue lama!" sungut Janice.

"Maaf Jan, saya baru menyelesaikan pekerjaan di rumah. Ada yang bisa saya bantu? Oh atau kamu mau ke kamar mandi?"

"Nggak! Gue mau pulang aja, di sini sumpek!"

"Besok baru bisa pulang, Jan. Kita harus menunggu kunjungan dari dokter, Jan. Kamu harus sabar ya?" tutur Janaka, wajah tirusnya terlihat lelah.

Kalau boleh menilai, Janaka seperti sedang ketimpa seabrek masalah yang Janice tidak tahu. Kumis yang Ia sebut seperti kumis wak doyok juga terlihat lecek, kemeja lusinan koleksinya juga terlihat awut-awutan.

Merasa di perhatikan, Janaka menatap balik Janice. Ia beringsut mendekati Janice, tubuh dan pikirannya sedang lelah.  Ia membutuhkan penyokong agar punggungnya tetap berdiri kokoh.

"Jan, bolehkah saya tidur di bahu kamu? Tolong sebentar saja," pintanya.

Ingin menolak, tapi Janice tak kuasa saat binar mata yang menatapnya itu menyiratkan rasa lelah yang luar biasa. Seperti di hipnotis oleh puppy eyes milik Janaka, Ia refleks mengangguk, mengizinkan Janaka bersandar di bahunya.

"It's oke, Jan. Hanya sebentar," rapalnya di dalam hati.

Janice memperhatikan raut wajah Janaka yang terlihat tenang dengan deru napas yang teratur menandakan si empunya sudah mulai terlelap. Janice mengernyitkan dahinya, jika di perhatikan sedekat ini, entah kenapa wajah Janaka terlihat lebih...ehm tampan. Apa sebenarnya pria ini memang tampan?

Alis mata tebal yang  mengular membentuk tatanan yang enak di pandang, bulu mata yang tak kalah hitam nan lentik pun turut andil membentuk paduan mata yang ciamik.

Saraf motorik Janice seperti sudah terkoneksi dengan hatinya, dengan perlahan dan sedikit gemetar, Janice mengarahkan jemarinya ke wajah Janaka. Tangannya seperti lost control dan mendadak tidak bisa di kendalikan oleh akalnya.

Belum pas tangannya bertahta di wajah Janaka, si objek nya sudah mengerang halus dan berhasil memgembalikan akal sehat Janice. Perempuan itu langsung menarik tangannya yang tadi sudah hampir mendarat di wajah suaminya itu.

"Ish! Gue ngapain sih, kenapa jadi muja-muja Janaka!" sungutnya sambil bergidik.

Janice mengusap tangannya dengan cepat begitu dirinya sudah beralih dari mode terpesona menjadi mode senggol bacok!

Meskipun secara rasional Janice menolak.

Tapi...kenapa rasanya deg-degan?

Bukan Jodoh Impian  [Terbit Ebook]Where stories live. Discover now