7

930 99 1
                                    

"Jan?"

"Hm."

Kursi di sebelah Janice berderit, Ia pikir pria itu tak akan berani duduk di dekatnya setelah kejadian tadi malam. Berada di meja makan bersama jarang sekali terjadi,hingga suasana sepi dan canggung menguar. Sebenarnya hanya Janaka yang merasa awkward, Janice justru sibuk dengan gawai dan salad buahnya.

"Kamu nggak masak, Jan?" tanya Janaka memecah keheningan.

Janice menaikkan kedua bahunya.

Pasalnya di meja makan kaca itu hanya ada satu mangkok salad buah dan air putih milik Janice, selama status nya berganti, Janice lebih memilih sarapan di jalan atau di lokasi syuting hingga Janaka memasak sarapannya sendiri. Yah, cocok memang Janice menyandang predikat sebagai istri durhaka.

Janaka menghela napas, Ia berjalan ke pantry. Mencoba membuat masakan seadanya untuk mengisi amunisi pagi hari.

Janice meletakkan mendorong sedikit mangkok bekas saladnya agak menjauh, Ia melongokkan kepalanya ke arah pantry, mencoba mengintip Janaka. Setelah di rasa aman, Janice menuju ke kamar Janaka.

"Huh, dimana dia naruh ponselnya?" Janice celingukan di kamar Janaka. Semua tempat Ia geledah, bawah bantal,lemari baju,laci dan semuanya tidak ada.

"Gawat nih kalau ponselnya nggak ketemu, apa di bawa ya?" gumamnya sambil mengobrak-abrik kamar Janaka.

Ting! Ting!

Janice mendengar sebuah suara dari bawah handuk basah yang tergeletak di atas meja nakas, Ia mendekati sumber suara dan voila! benda yang Ia cari-cari teronggok di bawahnya. Dasar bujangan! menaruh handuk saja sembarangan.

Ia menggeser lockscreen bergambar perkebunan jahe yang Ia yakini pasti milik Janaka, foto pernikahan yang menampakkan potret dirinya dan Janaka menjadi pembuka di laman depan. Ia bergidik melihat Janaka yang menaruh kepercayaan tinggi pada pernikahan ini.

Sebenarnya, tujuan Janice hanya melihat sesuatu yang bisa Ia jadikan bumerang untuk Janaka. Yah, Janice sedang berusaha mencari celah kesalahan Janaka. Kurang lebih seperti itu yang di katakan Karen kemarin, dirinya harus mencari sebuah peluang agar mampu menyerang Janaka. Dan dimana mencarinya? Well, ponsel adalah destinasi Janice untuk berinvestigasi. Bukankah orang menyimpan rahasia nya di ponsel daripada buku diary seperti zaman generasi Z.

Galeri, kotak chat, email hingga akun sosmed yang hanya ada satu sudah Janice geledah, tapi tidak ada yang membuatnya terlihat mencurigakan. Pria itu flat se-flat tubuh dan ekspresinya, tidak ada foto atau chat mesra bersama perempuan.

Sial! Dirinya sudah mirip dengan istri posesif yang acap kali memeriksa ponsel sang suami, jika saja bukan karena rencana yang telah Ia susun demi kebebasan mentalnya, Janice tidak sudi melakukan hal murahan ini.

Ting!

Satu pop up notifikasi mengundang jiwa kekepoannya, Janice memencet nya dan ototmatis terhubung ke aplikasi chat tadi. Woah! Ini yang dia cari!

Janice men-capture gambar berisi pesan terbaru itu dan langsung mengirimnya lewat bluetooth, Ia tak mau Janaka tahu jadi Janice langsung menghapusnya. Sebelum pergi, Janice meletakkan ponselnya ke tempat semula.

"Well done, Janice Prameswari!"

***
"Kamu sudah pesan cermin yang Saya minta?"

"Sudah Pak, cerminnya juga sudah Saya kirim ke Jakarta. Oh ya, Saya juga sudah mengirimkan---

" Oke tidak usah di lanjut, Nan terimakasih ya. "

"Tidak masalah Pak, baiklah Saya akhiri dulu ya."

Janaka tersenyum lega, cermin milik Janice sudah berhasil Ia dapatkan. Mungkin 2-3 hari lagi baru datang, Ia juga lega karena Janice tidak bertanya aneh-aneh tentang kekacauan tadi malam. Sebenarnya, Janice bukan tipe yang suka ikut campur sih dengan masalah orang lain ataukah mungkin Janice memang tidak mau tahu jika itu menyangkut Janaka.

Janaka duduk di pinggiran kasur, memikirkan Janice memang takkan ada ujungnya. Menikahi perempuan se-modern Janice memang tidak mudah untuk di kendalikan, apalagi watak perempuan itu memang keras. Tapi Janaka menikmatinya, Ia juga selalu bermimpi hidup bersama Janice sampai nanti.

"Entah sejak kapan, tapi sepertinya Saya mulai menyukaimu, Jan." Janaka bergumam lirih, tidak sulit untuk menaruh hati kepada perempuan seperti Janice.

Semua orang tahu bagaimana rupawannya perempuan berdarah Jawa itu, walaupun cara bicaranya sama sekali tidak mencerminkan perempuan Jawa pada umumnya. Jika sebenarnya Janaka kurang menyukai perempuan yang kasar dan berapi-api, Janice adalah pengecualian.

Pagi ini, tumben-tumbennya perempuan itu sarapan di rumah. Biasanya pagi-pagi buta sudah ngacir menghilangkan diri. Yah, walaupun sarapan di rumah perempuan itu masih saja egois. Tidak memikirian perut orang lain yang sama laparnya.

Asyik melamun, Janaka mendengar suara bising dari luar, seperti suara banyak orang yang sedang berbicara. Padahal tadi Janice pergi, apa perempuan itu sudah pulang?

Di ruang tamu, Janaka bisa melihat tiga orang perempuan yang satu Ia kenali sebagai Janice. Janaka menemui ketiga perempuan itu.

"Jan, kamu sudah pula---

Napasnya tercekat, wajahnya pucat pasi dan peluh dingin menekuri wajahnya. Sosok itu ada di depannya, sedang tertawa dan bercengkerama dengan Janice. Si jahanam itu kembali dan kini sedang menatapnya. Telinga Janaka serasa tuli hingga berdengung, tapi sayup-sayup Ia masih mendengar suara Janice, ya hanya suara Janice yang dapat Ia dengar dan akhirnya--

Gelap.

Bukan Jodoh Impian  [Terbit Ebook]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora