12. Hujan Terik

19 9 0
                                    

Hujan terus merintik meski langit masih begitu terik. Ternyata mendung sedang tak ingin menampakkan diri pada siapapun. Hujan cukup ceria tanpa membuat gugur daun-daun.

Kupandang lagi langit. Ah tidak-tidak. Yang kupandang itu seseorang yang tengah menatapnya. Sosok lelaki tinggi yang mengeluh tentang hujan. Katanya, membuat rencana miliknya menjadi berantakan.

Senyum masih menghiasi wajahku melihat tingkahnya. Masih kekanak-kanakan padahal sudah dewasa. Ia seharusnya sudah lebih terbiasa pada hal berbau kecewa. Ia sudah hidup sedikit lebih lama, bukankah begitu ya?

Kamu masih saja menghentakkan kaki hanya karena hujan datang terlalu tiba-tiba. Bahkan disaat cuaca hari ini begitu ceria. Kamu mengernyitkan alis saat 20 menit hanya memandang langit tanpa mau menghentikan jatuhnya rintik-rintik.

Akhirnya kamu mau duduk di teras rumah, meski gerutuanmu masih terdengar begitu jelas di telinga. Kamu tak jauh beda dengan mamah bila terus banyak berbicara.

Kita gagal kencan.

Katamu. Yang membuatmu semakin menyesal sebab tak jadi membeli ice cream vanilla di persimpangan jalan. Hanya menikmati secangkir kopi masing-masing sambil berharap hujan reda segera. Berharap bisa pergi jalan-jalan secepatnya. Walau akhirnya, kita masih duduk di teras rumah sampai senja menyapa. Dan kamu pulang tanpa membawa kenangan apa-apa.





-Meski sebenarnya tidak begitu bagiku. Melihatmu menggerutu, menghentak-hentakan kaki, menikmati secangkir kopi, itu cukup untukku. Sebab semua warna di wajahmu, begitu indah dari tempat kencan di sudut laut biru. Duduk berdua dan melempar lelucon garing, lebih menyenangkan di banding jalan-jalan menikmati terpaan angin.









_rayrain03

Hujan Sendu dan Sebait KamuWhere stories live. Discover now