Hujan dan Kamu ⎯ [01]

21 6 0
                                    

Happy reading, and enjoy!

"Hujan rela jatuh hanya demi bertemu tanah. Secinta itu dia sama bumi?"

"Kalimat klasik apa lagi ini, Ray?"

Aku tertawa. Untuk alasan yang lebih klasik lagi dari kalimat Ray. Aku suka semua hal aneh pada Ray.

"Berarti, hujan bucin banget, ya. Ngalahin anak SMP yang nangis sampe matanya bengkak abis diputusin."

Ray itu tukang komentar. Tukang nyinyirin semua kegiatan orang yang dia liat, mirip tetangga. Netizen selebritis aja kalah dengan kejulidan Ray.

"Kok diem?"

"Aku lagi dengarin ocehan kamu itu." Jawabku.

"Inget, ya. Salah satu dari HAM itu adalah adanya kebebasan berpendapat. Aku cuma ngeluarin pendapat, kenapa kamu sinis gitu?"

"Ya ampun, Ray. Aku gak sinis."

Aku menunjukkan senyum termanis yang sedikit dipaksakan. Mentang-mentang dia bercita-cita jadi pengacara, hukum selalu dibawa-bawa.

Hujan masih deras. Kami terpaksa berteduh di pinggir jalan sambil memeluk diri sendiri untuk mengahalau dingin. Mau bagaimana lagi? Bulan ini sudah memasuki musim hujan, dan tak satu pun dari kami yang membawa payung.

"Aku ada latihan futsal hari ini."

"Terus?"

"Kamu temenin aku, ya?"

Aku kembali menatap Ray. Wajah tampannya sangat menggemaskan jika sedang memohon. Ray itu jomblo alias gak punya pacar. Jadi, Ray selalu minta aku menemaninya. Sedangkan aku gak jomblo.
























Aku jomblowati.

"Jadwal latihan kamu masih jam 2, Ray?"

"Yap. Kamu emang selalu tau."

Aku tersenyum. Jika aku melupakan hal-hal itu, mungkin otakku akan kehilangan pekerjaannya untuk mengingat segala hal tentang Ray. Dan aku, tak punya hal untuk kujadikan pesangon untuk otakku selama menganggur itu.

"Kalo gitu, aku mau nerobos hujan. Mau nyari taksi ke ujung sana."

Aku melihat Ray menunjuk sebuah jalan dengan lalu lintas yang lebih ramai di tengah hujan begini.

Aku mengangguk sambil menyatukan ibu jari dan telunjukku membentuk tanda 'oke'.

Punggung Ray semakin mengecil. Menjauh dengan mengeratkan topi di kepalanya.

Ray tampak berbalik dan mulai berteriak. "Temui aku di ujung jalan sana, ya!"

"Iya!"

Aku berteriak berharap Ray mendengar suaraku di tengah hujan, sama halnya dengan aku yang mendengar suaranya.

Suaraku terbilang cukup kecil. Terkadang orang-orang merasa suaraku seperti anak-anak, di usiaku yang beranjak dewasa.

10 menit dan hujan sudah berganti menjadi gerimis.

Aku memakai kembali kacamataku yang sempat kulepas sebab berembun.

Sambil menyenandungkan sebuah lagu dari Utopia, aku mulai menyusuri jalanan yang masih ramai. Rupanya masih ada orang-orang yang berteduh di pinggir jalan sama sepertiku.

Gumaman pelanku terhenti. Kaki pun ikut berhenti bergerak. Rasanya sulit. Terlalu sulit untuk digambarkan. Hingga seolah semua beban berkumpul di dada. Membuat sesak.

Rasa sesak itu merambat ke seluruh tubuh. Menciptakan rasa sakit yang begitu asing. Semua beban itu berpindah menuju pelupuk mata. Mataku memberat dan semua tampak kabur.

Aku menunduk. Melepaskan lagi kacamata yang sudah berembun. Objek di depanku semakin buram saat tak memakai kacamata. Hanya terlihat siluet seorang lelaki dan perempuan berdiri berhadapan dengan jarak yang kurang dari 1 cm.

Memangnya aku siapa? Harus merasakan sakit seperti ini.

Apa hak yang kumiliki? Hingga merasa tak terima melihat ini.

Aku bukan siapa-siapa.

Aku tak punya hak apapun.

Kebetulan sekali ada ojek yang melaju di depan. Aku melambaikan tangan untuk memanggil ojek, hingga kemudian kutinggalkan jalanan itu. Jalanan dimana aku menyadari dimana posisi diriku untuk Ray.

Ray, mungkin hari ini aku tak datang ke tempat latihanmu.

Ray, mungkin hari ini aku yang akan mulai mencari tempat latihan.

Mencari tempat untuk melatih hatiku agar terbiasa tanpamu.

Aku meringis ngilu mendengar earphone yang ternyata masih menyuarakan sebuah lagu dari Geisha, Lumpuhkan ingatanku.

Kebetulan macam apa ini?











A/N :

Hello, readers!

Iya tau musim hujan sudah mulai 'kan? Walau belum sederas musim hujan biasanya. Disini hujan juga masih jarang datang. Jadi, aku jarang nulis.

Bahkan ada beberapa orang yang ketika tau aku nulis selalu bilang,

🗣 : Gak usah lanjut nulis dulu, tunggu vote nya banyak.

Atau,

🗣 : Ngapain lanjut nulis, gak ada yang baca 'kan?

Hampir semua kalimatnya sama. Tapi disini aku cuma mau bilang, nulis itu udah jadi hobi, selagi aku senang, aku pasti lakuin.

Aku nulis bukan demi ketenaran. Segala hal yang berputar dipikiran itu gak enak kalo cuma dibiarin, makanya aku tuang di wattpad. Sejak 2019 sebenarnya, tapi mau gimana lagi? Awalnya bener-bener gak berani publish apa-apa.

Kalo soal ada atau nggaknya pembaca, itu semua hak orang-orang diluar sana buat pilih-pilih bacaan mereka. Dan pasti pernah ada kalimat yang bilang, 'penulis adalah pembaca'. Jadi, kalau orang bilang tulisanku gak ada yang baca itu salah. Ada kok yang baca ; diri aku sendiri. Biar aku yang jadi penulis sekaligus pembaca. Aku yang jadi pembaca setia tulisanku sendiri. Gak masalah, kok.

Soal vote dan komen, aku gak berharap ada yang rajin vote. Aku anggap vote + komen itu sekedar bentuk privilege.

Cukup dibaca aja, udah seneng.

Salam hangat menyambut hujan,
rayrain03




Hujan Sendu dan Sebait KamuWhere stories live. Discover now