[9-1] Anomali Rasa

1.7K 157 31
                                    

Halo, jadi ini cerita singkat dan iseng banget. Nggak da background atau something yang serius banget. Isinya cuma ocehan julid si narator. Ehehehe... hopefully you like it~

•Anomali Rasa•

Summary: Bagaimana jadinya kalau jurnalis julid macam Juan Iskandar Janari dipertemukan dengan mahasiswi kritis nan cantik seperti Rumi Marissa Harits? Akankah cinta terbentuk karena keselarasan pola pikir atau terbentur opini masing-masing yang sangat mungkin berseberangan?

Kenapa para koruptor itu nggak kita namai sebagai maling aja? Kayaknya sebutan maling terdengar lebih dekat dan akrab dengan warga Indonesia ketimbang istilah koruptor yang merupakan serapan dari Bahasa Inggris

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kenapa para koruptor itu nggak kita namai sebagai maling aja? Kayaknya sebutan maling terdengar lebih dekat dan akrab dengan warga Indonesia ketimbang istilah koruptor yang merupakan serapan dari Bahasa Inggris. Toh cocok juga buat mencerminkan tindakan mereka yang suka mencuri secara diam-diam meskipun ketika terciduk malah teriak difitnah bahkan ada juga yang memohon-mohon keringanan hukuman dengan dalih kalau istrinya baik dan masih punya anak kecil yang harus dibesarkan.

Lah terus masalahnya opo? Wong bapak ketika ngeraup duit rakyat buat belikan istri dan anak barang branded dari Perancis pun tak ingat rakyat yang morat-marit cari duit untuk bertahan hidup kok. Enak memang tinggal di Indonesia, hiburan ada di mana-mana, bahkan para pemimpinnya juga punya jiwa menghibur yang nggak kalah edan dibanding para pelawak di tipi.

Agak ngeselin memang, masih pagi tapi udah dibikin misuh-misuh sama berita kalau KPK mau ngeganti sebutan koruptor menjadi ‘penyintas korupsi’. Begitu selesai baca artikelnya, kening saya langsung berkerut, otak pun langsung berpikir, bukannya penyintas itu sebutan untuk para survivor ya? Contohnya sebutan penyintas Covid-19 ditujukan buat orang-orang yang mampu bertahan melawan Covid—Si Virus hits yang berhasil melebarkan popularitas sampai ke penjuru dunia, kayak nggak apdol kalau nggak ngomongin Covid-19. Kembali lagi ke masalah penyintas, ada satu hal yang terus menggelitik bahkan jari ini jadi nggak bisa berhenti mengetik untaian kata dalam artikel yang siap diunggah di kanal berita.

Penyintas korupsi. Lah para dedemit hobi maling duit rakyat ini bertahan dari apa? Mereka korban dari apa? Memang korban korupsinya mereka? Berbicara tentang penyintas korupsi alias para survivor yang berhasil bertahan dari dampak korupsi, bukannya istilah itu kedengaran terlalu keren dan mulia kalau harus disematkan pada para bangsat sialan pencuri duit rakyat ya? Dan bukannya para korban yang terus-terusan bertahan itu rakyat? Kenapa yang harus dikasihani malah para birokrat tidak tahu diri itu? Duh, maaf kalau terlalu emosional, saat ini saya mungkin kedengaran seperti seorang pengidap kelainan jiwa yang punya dendam kesumat sama birokrat yang suka ngebawa duit rakyat seenaknya, tapi ya gimana, sikap mereka memang kerap kali ngebuat darah orang yang ‘cukup waras’ mendidih.

Korupsi emang bukan hal baru, sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu, dan agaknya udah jadi penyakit bawaan yang menjangkit siapapun yang ditempatkan di posisi empuk buat mendapatkan duit lewat jalur cepat dan cuma modal keberanian doang. Bagus sih berani, tapi ya nggak gitu juga cara mengaplikasikannya, dasar bangsat. Saya sedikit ogah buat menyebut mereka penjahat kerah putih karena kedengaran terlalu berkelas. Penjahat seperti mereka yang hobi senang-senang di atas penderitaan rakyat seharusnya nggak mendapat pengampunan.

Padahal sudah ditekankan sejak puluhan tahun lalu kalau di negara demokrasi yang berkuasa adalah rakyat dan mereka mengabdikan diri untuk kepentingan serta kesejahteraan rakyat, tapi kok outputnya begini? Apa mungkin yang mereka kelompokkan sebagai rakyat itu cuma dirinya, keluarga, dan partai sampai mencomot dana yang seharusnya digunakan buat meningkatkan kesejahteraan umat secara menyeluruh? Bisa jadi, kesejahteraan sosial memang selalu masuk program utama buat dibenahi sejak tahun 50-an yang mirisnya belum juga terwujud secara merasa sampai saat ini. Hm, balik lagi pada simpulan liar barusan, apa jangan-jangan memang benar mereka punya anggapan kayak gitu?

Kalau iya, sialan betul para pemimpin ini. Licin pula seperti belut. Bedanya, belut kalau didakwa nggak akan berdalih dan memasang muka memelas mohon pengampunan. Belut juga nggak ngerugiin apalagi mencelakai jutaan warga dalam satu negara—beda banget sama para maling berjas rapih yang kerjanya cuma molor di ruang rapat, leha-leha sambil nonton bokep di tengah badai yang menggulung Indonesia. Enak betul. Kalau diciduk masih bisa keluyuran ke Bali karena ngasih uang tutup mulut ke aparat. Dasar, keparat.

Jari saya bergerak cepat, berusaha mengimbangi otak yang menarasikan kritik pedas buat disajikan di halaman utama portal berita ternama. Napas berhembus pelan, tangan meraih secangkir kopi hitam dua ribuan yang masih penuh dan sudah dingin karena dianggurkan, kebiasaan kalau sudah fokus suka lupa sama keadaan di sekitar. Saya menutup laptop, bersandar ke bangku, dan menikmati angin sepoi-sepoi di halaman belakang yang sempit karena harga tanah di kota sejak dulu memang sudah mahal. Agenda setelah ini mungkin kembali lagi bekerja, jadi jurnalis kadang nggak kenal istilah jam kerja karena selalu ada berita yang perlu dikupas tiba-tiba. Tidak apa, sudah terbiasa. Lagipula, nggak banyak hal yang bisa dilakukan bujang 25 tahun yang sudah terlalu lama sendiri dan terlalu asik mengkritik kebijakan penuh lawakan kontroversial karya ‘para ahli’ di pemerintahan.

Sebenarnya, saya nggak menentang ide pernikahan dan berkeluarga dengan atau tanpa anak. Malahan, kalau ditanya jujur, saya juga mau punya pendamping yang bisa mendukung dan memaklumi kejulidan yang sudah mendarah-daging ini. Tapi, entah karena waktunya belum tepat atau saya nggak punya bakat, para perempuan nggak ada yang mendekat atau bertahan setelah satu kali pendekatan. Sudah ah, nggak mau mikirin itu, mungkin memang waktunya aja belum tepat. Lagipula saya ngak kebelet buat nikah dalam jangka waktu dekat, tanggung jawabnya hebat. Meskipun, sebagai ganjaran, orang tua acap kali memperlakukan saya sebagai ‘penjahat’ karena nggak mau dijodohkan atau dinikahkan.

Di tengah polemik pikiran yang merangsang ketenangan, tiba-tiba aja saya ngerasa kalau surga mungkin lagi mencari salah satu malaikatnya yang lagi keluyuran. Hal itu bukan semata-mata ungkapan kosong karena saat ini, tepat lima detik yang lalu, mata yang biasanya cuma terarah ke laptop dan tumpukan dokumen kerja ini menangkap sosok cantik berambut hitam sepunggung lagi jalan di belakang Dek Sarah. Dilihat dari wujudnya, kayaknya sih bukan makhluk jadi-jadian. Jantung saya berdegup kencang, ngerasain antusiasme yang sebelumnya pernah padam dan bikin patah arah.

“Dek! Tolong turun ke sini dulu! Aa mau ngobrol bentar!”

“Dek! Tolong turun ke sini dulu! Aa mau ngobrol bentar!”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jadi gimana tanggapan tentang chapter yang pendek dan gaje banget ini? Ceritanya cuma lima chapter—belum beres karena yang nulis alias diriku sibuk mikirin kue bulan.

Gitu aja, cuma buat obat kangen, ehehehe.... have a great weekend. Terima kasih karena kalian selalu ada dan mampir ke sini. Your existence means a lot 💕❣💙💘💜❤💚🍑🌹

The Thing Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang