[9-2] Anomali Rasa

900 138 29
                                    

Ini cerita romance. Udah gitu aja. Hehehe

•Anomali Rasa•

Namanya Rumi Marissa Harits, usianya cuma setahun lebih tua dari Dek Sarah—adik sepupu yang tinggal di rumah kami karena nggak diizinin buat ngekost di Dipati Ukur sama orang tuanya—artinya dia baru 21 tahun, mungkin udah semester tujuh dan lagi p...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Namanya Rumi Marissa Harits, usianya cuma setahun lebih tua dari Dek Sarah—adik sepupu yang tinggal di rumah kami karena nggak diizinin buat ngekost di Dipati Ukur sama orang tuanya—artinya dia baru 21 tahun, mungkin udah semester tujuh dan lagi pusing-pusingnya ngerjain skripsi kayak mahasiswa normal pada umumnya.

Tiap dia turun ke dapur bareng Dek Sarah, ekor mata saya bakal otomatis bergerak, melirik si gadis muda yang ngebuat bunga di taman ibu tertunduk malu karena kecantikannya yang memukau. Saya mengukir senyum, mengangguk takzim sewaktu mata kami saling beradu tatap dan Rumi melempar senyum manis.

Enggak mau memungkiri apalagi berdalih, saya memang tertarik sama gadis ini. Dia cantik dan kelihatan bersinar—tercermin pula dari cara bicaranya yang lugas dan cerdas sewaktu menjelaskan tentang kebijakan perburuhan pada Dek Sarah yang manggut-manggut aja. Meski begitu, nggak peduli semenarik apapun bunga muda di dalam sana, saya belum punya niat buat mengajaknya berkenalan karena bakal terkesan ngotot dan centil. Hal yang saya khawatirkan juga, dia mungkin bakal ngerasa nggak nyaman dan nggak mau berkawan lagi sama Dek Sarah. Kemungkinan terakhir memang terlalu ekstrim, tapi saya tetap harus berjaga-jaga takutnya fakta memang membuktikan demikian.

A Juan,” kata Dek Sarah dari ambang pintu. Temannya yang cantik berdiri di belakang. Tubuhnya tinggi, langsing juga tapi ini nggak ada korelasinya sama ungkapan yang mau saya paparkan selanjutnya, jadi diri di belakang pun tetap kelihatan jelas dan bebas.

“Iya dek?” sahut saya berusaha memasang sikap tenang kayak biasa.

Lagi-lagi tatapan kami bertemu. Kali ini Rumi menundukkan muka, nyembunyiin ekspresinya. Duh, tiba-tiba jadi merasa iri sama lantai yang bisa mengamati ekspresi Rumi sebanyak yang dia mau.

“Lagi sibuk banget, nggak?”

“Enggak. Baru submit artikel. Kenapa?”

Aa waktu kuliah ngambil jurusan apa?” tanya Dek Sarah. Dia ngelirik ke belakang, narik Rumi buat jalan ke luar dan duduk di meja yang sama bareng saya. Ibu jarinya nunjuk ke samping, sempet ngebuat Rumi agak tersentak sewaktu bilang, “Teh Rumi mau nanya ceunah. Buat skripsinya.”

“Kamu satu jurusan sama Sarah, kan?”

Rumi ngangguk. “Iya. Sama-sama jurusan Sejarah. Waktu denger Sarah bilang kalau kakak sepupunya kuliah di Leiden, saya jadi tertarik buat nanyain beberapa hal terkait skripsi karena kan banyak arsip Indonesia di Belanda. Saya nggak mempertimbangkan kalau A Juan itu kerja dan pasti sibuk. Maaf karena ganggu waktunya ya.”

“Nggak terlalu sibuk kok,” kata saya sambil nyeruput kopi dingin. Awet memang. “Ngomong-omong tema skripsinya tentang apa?”

Belum sempat Rumi ngejawab, Dek Sarah udah ngeduluin, minta izin buat ke kamar mandi karena mules. Kalau udah mules, dia pasti bakal tinggal lama di kamar mandi. Situasi saat ini jadi agak canggung. Duh, saya harus berusaha sekuat tenaga buat mengendalikan ekspresi muka biar nggak terlalu kentara senang dan gugupnya.

The Thing Between UsWhere stories live. Discover now