[9-4] Anomali Rasa

1K 135 30
                                    

This will be the last for this arc. Enjoy~

•Anomali Rasa•

Dulu sempet pingin ganti ibu, sampai nanya ke guru di bangku kelas tiga perihal cara penukaran ibu karena saya nggak tahan diomeli terus-terusan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dulu sempet pingin ganti ibu, sampai nanya ke guru di bangku kelas tiga perihal cara penukaran ibu karena saya nggak tahan diomeli terus-terusan. Tentu saja, pertanyaan itu cuma ditanggapi sama tawa canggung dan bingung. Dikenal sebagai anak jenius ngebuat guru-guru selalu menjaga perkataan tiap berada di dekat saya karena nggak mau mendapat terlalu banyak pertanyaan tiap kali nemuin hal yang ganjil.

Tapi ya, sepintar-pintarnya juga anak kecil, tetap aja nggak cukup pintar buat memecahkan kode maupun alasan yang dapat memicu amarah ibu. Misalnya aja, alasan ibu selalu ngomel itu sebenarnya kecil, cuma karena saya sering bolak-balik keluar-masuk rumah waktu ibu lagi ngepel. Juan kecil selalu ngira itu hal enteng yang nggak patut dijadiin alasan turunnya hujan omelan dari mulut ibu. Hati saya sakit karena selalu diomeli. Mengadu ke bapak juga nyaris nggak ada gunanya, dia selalu ada di pihak ibu. Lucu benar kalau mengingat dulu sempat berpikir buat kabur supaya ibu rindu dan berhenti marah-marah.

Tapi, sewaktu tinggal sendiri di Leiden, saya baru sadar kalau lagi bebersih dan ada orang yang tiba-tiba masuk dengan kaki dan tangan kotor itu aduhai kampret sekali. Sungguh membagongkan. Saya sampai kapok dan nggak mau lagi serumah dengan mahasiswa Indonesia yang sama-sama menimba ilmu di Leiden karena dia jorok dan suka seenaknya. Susah payah saya mencari alasan paling sopan dan nggak menyinggung supaya dia setuju buat berpisah dan hidup dengan cara masing-masing. Alhamdulillah, alasannya cukup sopan dan berhasil, buktinya sampai sekarang saya dan Bambang masih berkawan kendati niat untuk tinggal satu atap lagi nggak pernah terlintas. Berkawan baik bukan berarti harus tinggal satu rumah.

Lalu ada satu lagi cerita yang cukup menarik buat disampaikan. Ini terjadi waktu saya baru lulus dan lagi nyari kerja. Sebelum bekerja di kantor media dan publikasi, saya sempat mengajukan lamaran ke sejumlah tempat yang berkaitan dengan ranah hukum. Seperti biasa, saya merasa percaya diri, spesifikasi yang saya tawarkan bagus dan menjanjikan. Bahkan saya juga nggak menuntut gaji kelewat tinggi—selama nggak dibayar di bawah UMR dan tetap diberi tunjangan seperti asuransi tenaga kerja dan upah lembur.

Idealnya saya langsung diterima bekerja; tapi pada kenyataannya idealisme seringkali nggak sejalan dengan dunia faktual. Setelah melewati tiga tahapan seleksi, lamaran pertama saya ditolak. Dan alasan penolakannya sempat ngebuat beberapa orang rumah tercengang: Saya ditolak karena dianggap terlalu pintar sehingga nggak cocok buat mengisi jabatan yang dilamar. Alih-alih diterima, saya malah dianjurkan buat bekerja di perusahaan BUMN sebagai langkah awal buat menyalurkan kepintaran yang terpendam.

Sebenarnya saya termasuk tipe orang yang sadar betul dengan kemampuan sendiri bahkan sejak usia dini. Kesadaran itu justru sempat ngebuat saya tersiksa karena kesulitan menemukan teman yang bisa mengimbangi nalar dan cara berpikir yang dianggap nyeleneh. Memang kurang tepat, anak dengan kecerdasan di atas rata-rata seperti saya seharusnya dimasukkan ke sekolah khusus, bukan sekolah reguler. Tapi ibu dan bapak keukeuh memasukkan saya ke sekolah reguler dengan harapan saya bisa mendapat banyak teman dan berkembang seperti anak lainnya.

The Thing Between UsWhere stories live. Discover now