⚪19⚪

949 240 64
                                    

"Akhir-akhir ini, aku jarang sekali melihatmu berada di istana."

Jiyeon mengalihkan atensinya dari dua benang wol yang tengah ia pilih untuk merajut syal. Sosok tinggi dengan penuh wibawa melangkah memasuki kamarnya. Jarang sekali ayahanda mau menginjakan kaki di kamar putri sulungnya.

"Kurasa ayah yang tidak terlalu peduli di mana keberadaanku," balas Jiyeon sarkas.

Sebenarnya begitu banyak pertentangan yang ia lakukan secara terang-terangan pada sosok di hadapan. Berawal dari kasih sayang yang tidak dalam porsi yang sama pada dua putrinya. Sebagai putri kandung yang terlahir dari rahim istrinya, Rain terlalu menganak-tirikan Jiyeon. Mungkin karena Sharon yang terlampau banyak meminta kasih sayangnya sebagai sosok ayah.

Tapi duniapun tahu, Jiyeon memiliki hak yang sama, bahkan seharusnya tempat Jiyeon di atas sang kakak, Rain menyadari itu, namun apa boleh buat, waktu tidak bisa terulang, kesalahan yang terdahulu sungguh mengubah kehidupannya hingga sekarang. Dan Jiyeon adalah korban dari kesalahan yang ia sesali hingga menciptakan banyak penghalang. Hubungan keluarga yang indah tidak mereka jalani sebagaimana mestinya.

"Kau membuat apa?" tanyanya mengalihkan topik.

Kamar Jiyeon tampak seperti putri sulung kesayangannya, ketahuilah, sebanyak apa pun kata-kata kasar dan tindakan tidak adil yang Jiyeon terima darinya, Rain sangat mengetahui Jiyeon lebih dari apa pun di dunia ini. Putri kecil yang dulunya memanggil ayah dan ibu dengan suara menggemaskan dan mata biru yang sangat indah serupa bola mata istrinya.

"Sesuatu yang tentunya bukan untuk ayah."

Rain tersenyum kecut menerima kalimat Jiyeon yang dingin. Ia kembali berpikir, kapan terakhir kali Jiyeon bersikap manis hanya demi menarik perhatiannya? Sifat manja yang ingin meminta kasih sayang yang seharusnya ia terima dari kedua oranngtuanya. Mungkin itu sudah bertahun-tahun yang lalu, saat terakhir kalinya Jiyeon membuat sebuah sarung tangan dari rajutannya sendiri, bewarna cokelat tua dan sangat berguna saat musim dingin menyelimuti negeri ini. Rain ... Merindukan masa-masa itu.

"Bagaimana latihan pedangmu?" Ia menutup rasa sakit dari banyaknya penolakan Jiyeon terhadap dirinya yang ingin mencoba kembali dekat. Jiyeon seolah mendorong keras dirinya dan benar-benar tidak berharap akan kehadirannya di sini.

"Sudah lebih bagus, tapi untuk menikam jantung ayah, aku masih butuh waktu lagi."

Pria paruh baya itu menghela napas beratnya, Jiyeon tidak sedikitpun menatapnya saat berbicara. Ia memutuskan untuk duduk tak jauh dari sisi kiri Jiyeon. Gadis itu mulai mengaitkan benang wol bewarna hijau gelap pada dua jarum jahit di tangannya.

"Benar, berlatihlah lebih giat lagi. Jika aku mati, aku harus mati di tanganmu. Jadilah kuat untuk dirimu sendiri. Istana ini memang memerlukanmu sebagai pemimpin."

Jiyeon melirik ayahnya, kata-kata itu mengusiknya. Ia pikir akan menerima balasa sama sarkasnya. Tetapi ayahnya terlihat serius dengan ucapannya itu.

"Aku membunuhmu, berarti aku akan dipenjara. Dan itu akan menjadikan Sharon sebagai penerusmu satu-satunya."

Untuk pertama kalinya, Jiyeon melihat senyum tulus yang terlukis di wajah ayahnya, senyum itu selembut cahaya matahari sore yang menyelinap melalui ventilasi udara di atas jendela kamarnya.

"Sebenarnya apa maumu?" Jiyeon dengan mata tajamnya menelisik setiap perubahan raut wajah Rain.

"Aku ingin kau hidup bahagia," balasnya tulus. Bahkan Rain menahan rasa sedih yang menjalar dari hati terdalamnya.

"Dan bagaimana bahagia itu menurutmu, Ayah?"

"Pergi jauh dari sini, aku bisa memerintahkan Sir Vollentio untuk menjagamu. Jangan khawatirkan semua kebutuhanmu, aku akan penuhi, aku janji."

Verticordious✔Onde as histórias ganham vida. Descobre agora