[23] Perkara Malu

7K 455 380
                                    

Saat ini, tepat di hari Kamis setelah kejadian kemarin, Asya dengan wajah plongo-nya menatap seseorang di hadapannya. Kedua kakinya beralih ia naikkan ke atas kursi dan melipatnya. Menatap wajah seseorang di hadapannya lebih intens.

Kejadian kemarin seolah hanya angin lalu untuknya, gadis itu cepat sekali melupakan masalah yang menurutnya tak penting. Lebih tepatnya gadis itu selalu berfikir bodo amat dengan masalahnya sendiri. Ya, itu lah Asya. Hanya kejadian-kejadian tertentu yang membuat dirinya tak bisa melupakannya.

"Mih, Om-nya cakep banget," bisik Asya pada Maminya yang tengah duduk tepat di sebelahnya.

Mel yang mendengar itu lantas mencubit kecil paha Asya. "Aw, sakit, Mih."

"Diem dulu. Lebih cakep Papi kamu."

Asya mencebikkan bibir bawahnya kesal, matanya kembali menatap pria di hadapannya ini dengan pandangan memuji.

"Asya sudah siap?" tanya pria tersebut.

Bukannya menjawab, Asya malah semakin mengembangkan senyumnya. Senyum yang jika di lihat lebih jelas malah mirip senyum setan. Ah! Pria di hadapannya ini menggoda iman saja. Eh, canda kok.

"Asya, itu di tanya sayang," sahut Mel saat melihat putrinya ini hanya planga-plongo di tempatnya.

"Eh, iya, kenapa?"

"Asya sudah siap? Saya akan memulai."

Dengan mata yang sedikit mengerjap, Asya bertanya, "Mulai apa? Kamu mau lamar Asya?!"

"Astaga, Sya." Mel beralih menggelengkan kepalanya tak habis fikir.

"Nggak boleh, Mih. Seganteng apa-pun orangnya, tapi Asya gak mau di lamar sama dia. Maunya sama Saka aja," jujurnya yang malah terlihat menyebalkan.

"Siapa yang mau lamar kamu, heh?"

"Loh, kok?"

"Saya seorang psikolog yang akan—"

"Ihh, kenapa psikolog, Asya gak gila!"

Lagi dan lagi, Mel mengusap dadanya sesaat. Sekarang di rumah, hanya tinggal mereka berdua, sedangkan Kris ada jadwal di kampus dan juga Devan tengah mengurus sesuatu bersama Rey dan juga Rule setelah mengantar pria ini ke rumahnya.

"Kalau gila harus ke psikiater sayang, tapi yang ke psikiater juga belum tentu gila."

"Psikolog sama psikiater emang beda ya, Mih?"

"Asya! Mami tau ya, kamu pasti tau, kan jawabannya. Ngapain malah nanya?"

"Ihh, jangan marah dong, canda doang kok, Mi."

Suara bel dari arah luar berhasil mengalihkan perhatian mereka semua. Perlahan Mel bangkit dari duduknya dan menatap Asya dengan mewanti-wanti. "Mami buka pintunya dulu. Asya, jangan macem-macem!" peringatnya sebelum berlalu.

"Mana ada, Mi? Yang ada dia yang macem-macem sama Asya!" teriaknya tak ingin kalah.

Sedangkan orang itu—El hanya menggeleng dan sedikit terkekeh. Sudah menduga sifat Asya akan seperti ini, ia sudah dapat membacanya.

"Om mah jangan ketawa, nanti Asya jadi suka kan berabe."

Lagi dan lagi, pria itu semakin tertawa mendengar penuturan dari Asya. "Jangan panggil saya dengan sebutan Om. Saya tidak se-tua itu."

Asya semakin menghentakkan kakinya gemas. "Dengar suaranya aja Asya jadi salting, loh! Diem ihh!"

***

Di sisi lain, Mel dengan perlahan membuka pintu utama rumahnya. Setelah pintu terbuka lebar, ia menatap sekeliling tapi tak menemukan seorang pun. Ia kemudian berjalan sedikit maju untuk memeriksa kembali.

TARASYA [END]Where stories live. Discover now