[56] Target

6.6K 450 347
                                    

Di sebuah ruangan yang cahaya penerangannya lumayan redup kini perlahan terang. Beberapa orang berbadan tegap yang baru tiba kini mengambil duduk di sofa. Tepat di hadapannya, ada seorang laki-laki yang tengah asik meminum minumannya.

"Sudah selesai?"

Mereka semua saling pandang sejenak. "Masih tersisa dua orang, Tuan muda."

Lelaki itu tampak mengangguk dengan senyuman kecilnya.

"Tuan...."

"Hm?"

"Koneksi dengan Bos menghilang sejak kemarin."

Laki-laki itu tampak berfikir sejenak. "Tetap jalan kan tugas kalian. Saya bisa urus itu."

Setelah menghabiskan minumannya, laki-laki itu lantas meraih sebuah pistol rekayasa dan membidiknya pada sebuah foto kecil yang terdapat di meja hadapannya. Dengan modal memutar-mutar pistol tersebut, ia berusaha berfikir.

"Target selanjutnya siapa?" gumamnya di sertai kekehan kecil.

Tangannya berhenti memutar pistol tersebut. "Bulan atau bintangnya?" tanyanya.

Pistol tersebut mengarah pada satu foto. "Bulan depan, lebih tepatnya besok, dia ulang tahun. Beri dia kejutan hari ini."

Mereka semua kompak berdiri, lalu memberi hormat. Setelahnya, mereka berlalu keluar guna melaksanakan perintah yang di berikan.

Suasana tiba-tiba sepi. Laki-laki tersebut meraih kedua foto lalu berdecak kecil. "Gue udah lama nunggu hari ini." Pandangannya terhenti pada salah satu foto. "Gue nunggu sampai umur lo emang pantas. Sebelum umur lo bertambah, gak masalah buat gue bunuh."

Tatapannya beralih pada foto yang satunya lagi.

"Maaf," katanya, lalu ia lantas tersenyum miring.

****

Di sebuah ruangan serba putih, Asya terdiam dengan pandangan lurus ke depan. Darahnya baru-baru saja ia donorkan untuk Papinya. Sekarang, ia tengah menunggu sebuah kabar baik.

"Masih pusing?"

Asya menggeleng menjawab pertanyaan dari Kris.

"Istirahat aja. Gak masalah."

Asya beralih mengangguk tanpa mengeluarkan suara.

"Mami masih di ruang rawat. Luka Mami gak terlalu parah. Gak usah khawatir lagi. Percaya, Papi bakal baik-baik aja." Tangan Kris naik dan mengusap punggung Asya yang sedari tadi diam tak mengeluarkan suara. Bahkan suara isakan pun sudah tak terdengar.

"Sya, jangan gini."

"Asya lapar." Kalimat pertama yang keluar dari bibir mungil Asya.

Kris mengangguk mengerti. Ia lantas berdiri dari duduknya. "Tunggu sebentar di sini. Gue beliin makanan di kantin."

Ya, Asya lagi-lagi hanya diam.

Setelah kepergian Kris, Asya masih setia pada posisi duduknya. Setelah darahnya di ambil untuk di donorkan, ia sama sekali tak beranjak dari tempatnya. Mungkin, ia butuh menjernihkan pikirannya sejenak.

Baru dua menit Kris keluar, Asya segera berjalan keluar dari ruangan tersebut menuju ruang operasi.

Langkahnya berhenti tepat di depan ruang operasi, retinanya menatap pintu di hadapannya dengan mata yang kembali memanas. Tangannya terkepal erat dengan napas yang tak beraturan. "Papi...," lirihnya.

Asya menoleh ke belakang saat punggungnya di tepuk. Bertepatan dengan itu, raut wajahnya kembali semakin murung.

"Mama Zara," lirihnya dan langsung memeluk wanita di hadapannya. Tangisnya kembali pecah, dengan dada yang terasa sesak.

TARASYA [END]Where stories live. Discover now