28. Getting Worse

8.6K 1.7K 703
                                    

Sandiwaranya untuk terlihat kuat sudah gagal. Chaeyoung mengakui itu. Dirinya sudah tidak bisa menyembunyikan kondisi yang semakin buruk setiap harinya.

Satu minggu ini, Chaeyoung hanya bisa terbaring di atas tempat tidur tanpa berbuat apa pun. Perutnya mengalami pembengkakan, kedua kakinya pun demikian.

Setiap detik, rasanya selalu sakit. Tapi dia tak mau terlalu banyak mengeluh. Adiknya sudah lelah bekerja siang malam. Ibunya sudah letih mengurusnya seharian. Gadis itu cukup tahu diri.

Saat ini saja ketika dia mengalami pendarahan di hidung, Chaeyoung berusaha menahan rasa sakit yang memenuhi tubuhnya. Membiarkan Lisa dengan wajah lelahnya menghapus darah itu dengan telaten.

"Unnie, ayo ke rumah sakit?" itu adalah permohonan Lisa yang kesekian kalinya. Dan Chaeyoung selalu menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Dia tak ingin membebankan Lisa dengan biaya pengobatannya lebih jauh lagi.

"Ah-ni-ya,"

Lisa mengernyit. Dia tentu merasa janggal dengan cara bicara kakaknya. Sore tadi suara Chaeyoung masih normal terdengar. Tapi kenapa sekarang terbata?

"Unnie, jujur padaku. Apa yang kau rasakan?" tuntut Lisa panik. Dia mengusap rambut kakaknya dengan kasar.

Chaeyoung tidak menjawab. Dia hanya diam dengan bibir bergetar. Sedangkan Lisa sudah dibuat frustasi. Berkali-kali mengusap wajahnya untuk berpikir jernih.

Tidak ada pilihan lain, Lisa harus meminta bantuan karena akan sulit membawa kakaknya pergi ke rumah sakit hanya dengan sang ibu di jam tengah malam seperti ini.

Diraihnya sebuah ponsel di atas meja. Lisa mendial salah satu nomor disana. Dia tak langsung mendapatkan jawaban, karena pasti orang di seberang sana sudah tertidur lelap.

"Oh. Wae, Lisa-ya?" Dugaan Lisa benar. Karena suara Jiwon kini terdengar serak.

"Oppa, bisakah membantuku untuk membawa Chaeyoung Unnie ke rumah sakit?"

"A-Arraseo. Oppa akan sampai disana dalam waktu dekat." Setelah mengatakan itu, sambungan telepon terputus.

Lisa tahu bahwa kini Jiwon tengah dilanda kekhawatiran. Sebenarnya, Lisa tak tega meminta bantuan pada Jiwon pada tengah malam seperti ini. Tapi entah mengapa, dia selalu nyaman ketika Jiwon yang membantunya.

"Unnie, tahan sebentar lagi ya?" Lisa beralih pada kakaknya. Mengusap wajah pucat penuh keringat itu dengan lembut.

Hatinya sungguh resah setiap hari. Dia takut jika kakaknya berpikir akan menyerah. Sampai hal itu terjadi, Lisa tak akan tahu bagaimana hidupnya nanti. Dia tak akan bisa membayangkan, berada di dunia tanpa kakak kembarnya.

..........

Rumah berlantai dua itu amatlah sepi. Sebenarnya sedari dulu, hanya saja kini rumah itu sudah ditinggalin oleh dua orang. Bukan hanya Hanbin sendiri.

Ayahnya yang bertahun-tahun menetap di Inggris, kini sudah ada bersamanya. Jujur saja, hubungan mereka memang tidak begitu dekat. Sang ayah selalu menjaga jarak. Hanbin pikir, mungkin Dowan tak suka padanya karena membuat sang ibu meninggal saat melahirkan.

Dari balkon kamar, Hanbin melihat Dawon sedang duduk di taman kecil rumah itu. Entah apa yang dipandang, padahal saat ini sudah pukul setengah dua belas malam.

Sebagai seorang anak, Hanbin tentu khawatir. Dia meraih sebuah selimut dan membawanya keluar. Menyelimuti bahu sang ayah, namun matanya malah menyipit saat melihat sebuah foto yang ada di tangan Dawon.

"Eoh, bukankah itu---"

"Kau kenal?" Ucapan Hanbin langsung terpotong karena sang ayah.

Hanbin mengangguk. Di dalam foto itu terdapat ayah dan ibunya, serta seorang wanita yang cukup Hanbin kenal.

Puzzle Piece ✔Where stories live. Discover now