0. Poor and Rich

32.6K 2.6K 744
                                    

Usaha tidak pernah menghianati hasil. Itu yang selalu Won Lisa tanamkan pada keyakinannya. Dia bukan gadis yang mudah menyerah. Dia adalah gadis yang tak pernah merasa pesimis.

Hidup di dalam keluarga kurang mampu tidak pernah Lisa sesali. Justru dia sangat bahagia, karena hidup di tengah kasih sayang ibu dan kakak kembarnya yang baik hati.

Hari ini Lisa genap satu bulan menjadi waiters di sebuah Cafe. Bekerja sedari pagi hingga sore untuk menjadi tulang punggung keluarga. Itu Lisa lakukan karena dia tak mengizinkan ibunya untuk bekerja.

"Ingin ku antar? Aku membawa motor," ujar seorang pria berambut hitam legam yang melihat Lisa sedang berkemas.

"Aniyo, Oppa. Aku ingin naik bus saja. Bisa sambil tidur." Lisa menyengir lebar. Tak ada sama sekali beban ketika mengatakan hal itu.

Kim Hanbin selalu kagum dengan sosok Lisa. Walau masih satu bulan mengenal, Hanbin tahu jika Lisa adalah gadis yang luar biasa.

"Kalau begitu, sampai besok."

Mereka berdua saling melambaikan tangan. Lalu Lisa yang berjalan keluar terlebih dahulu dengan tas ransel kuning hadiah dari kakak kembarnya satu tahun lalu. Tas yang menurut Lisa sangat berharga. Dia tak ingin kehilangan tas itu, juga yang memberikannya.

Cafe itu memiliki jarak yang dekat dengan halte bus. Lisa bahkan langsung mendapati bus datang tak lama setelah dia berpijak di halte itu. Menaikinya dan memilih duduk di bangku terbelakang.

Butuh waktu setengah jam untuk sampai di daerah tempat tinggalnya. Jadi Lisa memilih tidur terlebih dahulu. Waktu sangat berharga untuk Lisa. Karena malam nanti dia harus bejerja sebagai pengantar makanan pada sebuah restaurant cepat saji.

Gadis berambut cokelat itu terbangun ketika bus hampir mencapai tempat tinggalnya. Menekan bel di dekat kepalanya, Lisa beranjak setelah bus itu berhenti.

Menghembuskan napas keras setelah turun dari bus, Lisa mulai menampakkan senyum cerah dan langkah riang. Dia lelah, hanya saja itu bukanlah beban untuk dirinya. Dia senang bisa menjadi tulang punggung keluarganya. Walaupun dia yang termuda.

"Aku pulang!" Lisa berteriak sambil memasuki rumah sewaan berukuran kecil itu. Menarik perhatian dua penghuni lainnya yang sedang duduk di dapur.

"Kemari! Unnie sudah membuatkanmu susu cokelat," ujar seorang gadis dengan warna rambut yang sama dengan Lisa. Hanya saja gadis itu tak memiliki poni.

Lisa menanggapinya dengan senyum tipis. Memberikan kecupan pada kakak dan ibunya yang selalu menjadi penyemangat untuk Lisa menjalani hidup.

Ibunya, Won Hanna dan kakaknya, Won Chaeyoung. Mereka bertiga semula adalah penduduk di kota Jeonju. Lisa dan Chaeyoung dibesarkan disana. Tapi sebulan yang lalu ketiga wanita itu memutuskan pindah ke Seoul.

Lebih tepatnya, hal itu adalah permintaan Lisa. Karena kakak kembarnya, Won Chaeyoung memiliki penyakit Sirosis hati sejak dua tahun lalu. Lisa hanya ingin kakaknya ditangani dengan sangat baik, dan pilihannya jatuh pada Seoul. Kota metropolitan dengan medis terbaik di Korea Selatan.

Lisa tidak peduli dengan biaya. Oleh sebab itu dia rela bekerja siang dan malam hanya untuk pengobatan sang kakak. Mengorbankan masa mudanya, juga mengorbankan beasiswanya untuk bersekolah lebih tinggi.

"Lain kali gunakan uangnya untuk membeli obat Unnie saja. Aku tak butuh susu," ucap Lisa menerima gelas berisi susu cokelat dari sang kakak.

Kemarin Lisa memang memberikan sebagian gaji bulanannya untuk Chaeyoung. Hari ini kakanya itu dijadwalkan untuk Check-up dan menebus obat.

"Arraseo, Sayang."

"Cepat habiskah, lalu kita makan!" Won Hanna berseru riang setelah nasi goreng kimchi yang dibuatnya matang. Menyiapkan dua piring porsi nasi, dan sepiring sayur-sayuran rebus untuk Chaeyoung.

..........

Pintu kedatangan bandara internasional itu tampak ramai. Menghentikan langkahnya, gadis berambut cokelat sepunggung itu melepas kaca mata hitamnya.

"Akhirnya kita bisa menghirup udara Seoul." Suara di sampingnya membuat Han Jennie menoleh.

Sudah sepuluh tahun lamanya kedua gadis itu tinggal di Amerika. Ikut bersama sang ayah yang menjadi orang tua tunggal mereka. Hingga akhirnya, satu minggu lalu Han Seonho harus pergi ke Korea Selatan karena pusat perusahaan tekstil miliknya mengalami masalah serius.

Sebenarnya Han Seonho hanya pamit untuk pergi selama beberapa minggu. Namun kemarin Han Seonho kembali menghubungi kedua anaknya jika dia akan lebih lama berada di Korea.

Han Jisoo dan Han Jennie memutuskan untuk ikut pergi ke Korea. Mereka bahkan rela pindah kuliah hanya untuk menemani sang ayah.

"Selamat datang, orang Amerika." Sebuah sapaan hinggap di telinga keduanya.

Mereka langsung tersenyum lebar tatkala mendapati seorang pemuda dengan mantel hitam telah berdiri menyambut Jisoo dan Jennie. Dia adalah Han Jiwon. Anak tunggal dari kakak Han Seonho.

"Oppa!" Keduanya memekik dan memeluk tubuh Jiwon erat.

"Appa kalian sedang ada rapat, jadi tidak bisa menjemput." Setelah dekapan itu terlepas, Jiwon menjelaskan bahwa pamannya tidak bisa hadir dan menyuruhnya untuk menjemput kedua gadis itu.

"Kami mengerti," sahut Jennie mengangguk paham.

"Kajja! Oppa akan mentraktir kalian tteokbokki. Bukankah disana tidak ada?" Jiwon merangkul dua adik sepupunya. Berjalan ringan membelah kerumunan yang memenuhi bandara itu.

Tak ada yang kurang dari hidup mereka. Pintar, kaya, dan semua orang menyayanyi Jisoo mau pun Jennie.

Walau terlihat sempurna, tapi Jennie mnyayangkan sesuatu. Ada bagian kosong yang terasa begitu hampa. Kenyataannya hidup gadis itu tak sempurna. Layaknya sebuah puzzle yang kehilangan satu bagiannya.

- Early Part -

Lampung, 26 Maret 2021

Note.

Selamat datang di cerita baru ane. Jangan lupa vote dan komen. Seperti biasa, bakal update part 1 setelah ramai^^

Puzzle Piece ✔Where stories live. Discover now