46. Surrender

9.5K 1.5K 574
                                    

Sepasang kaki dengan balutan sepatu sneakers putih Celine itu berjalan terseok menuju kamar mandi. Sesampainya di dalam, tangan kurus itu mencengkram pinggiran wastafel, guna menahan sakit yang mulai datang berlebihan.

Lisa tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhnya. Tapi semakin hari, rasa sakit kepala itu datang lebih sering dan bertambah menyiksa. Jika saja dia dalam keadaan normal, mungkin sudah banyak obat pereda rasa sakit yang dikonsumsi.

Tapi Lisa masih ingin hidup. Dia tak mau mati. Maka dari itu dia lebih baik menahan rasa sakit itu dan menghindari obat pereda rasa sakit yang bisa merusak ginjal satu-satunya.

Hendak menyalakan kran wastafel, Lisa mengurungkan niatnya saat ada cairan kental yang mengalir dari salah satu lubang hidung mancung milik gadis itu.

Lisa mengusapnya. Memandang darah itu dengan perasaan gelisah. Jika dulu dia akan tenang saat mengalami mimisan, tapi kali ini tidak. Karena dulu, ada alasan yang membuatnya tak perlu khawatir yaitu kelelahan bekerja.

Tapi kini, dia sungguh takut. Karena mimisan itu dibarengi dengan rasa sakit kepala yang luar biasa. Bahkan Lisa sempat berpikir, kepalanya akan meledak tiba-tiba jika terus mengalami sakit itu.

Sibuk dengan pemikirannya sendiri, Lisa dikejutkan dengan ponsel yang bergetar di saku celananya. Dilihat pada layar, nama Chaeyoung lah yang tertera.

Hari ini, mereka memang ingin pergi ke toko buku bersama. Lisa yang kelasnya sudah selesai terlebih dahulu, memilih menunggu Chaeyoung. Tapi ternyata sakit kepala itu menghalanginya.

"Kau dimana? Kelasku sudah selesai." Suara Chaeyoung terdengar saat Lisa baru saja menerima panggilan itu.

"Toilet di dekat kelasmu."

"Sedang buang air besar? Kebiasaan sekali, jika buang air besar selalu memainkan ponsel." Kalimat Chaeyoung itu membuat Lisa memutar bola matanya jengah. Padahal kakaknya yang menelepon, dan jika Lisa tak mengangkatnya Chaeyoung pasti akan mengomel.

Tapi Lisa tidak mengutarakan hal itu. Dia memandangi wajahnya dari pantulan kaca. Darah itu belum berhenti mengalir, dan Lisa belum berniat menghapusnya karena akan percuma.

"Kau sedang apa sebenarnya?" Pertanyaan Chaeyoung membuat Lisa bimbang.

Jika biasanya dia akan berbohong bahwa ia baik-baik saja, namun kali ini keinginannya berbeda. Dia terlalu takut, jika tak jujur akan terjadi sesuatu yang lebih buruk.

"Unnie, aku mimisan." Pengakuan Lisa itu membuat Chaeyoung yang entah dimana keberadaannya menjadi panik.

Lisa bisa mendengar bahwa kakaknya berlari tanpa mengatakan apa pun. Setelahnya, panggilan itu terputus secara sepihak. Di susul dengan pintu kamar mandi yang terbuka secara kasar.

Sosok Chaeyoung itu menghampiri Lisa. Dengan wajah khawatir dia mulai mengusap darah yang mengalir itu dengan tangannya. Bahkan karena terlalu panik, dia lupa menggunakan tissue yang tersedia di wastafel.

"Kepalamu sakit lagi?" tanya Chaeyoung memastikan.

"Hm. Tapi aku masih bisa menahannya." Jawaban Lisa membuat Chaeyoung memandang sang adik dengan nanar. Ketika semua orang merasa sakit, tanpa pikir panjang mereka akan meminum obat pereda nyeri. Tapi Lisa berbeda. Dia harus menahan rasa sakit itu karena tidak bisa terlalu banyak meminum obat pereda nyeri.

"Kita pulang. Aku akan bicara pada Appa dan Eomma agar kau melakukan pemeriksaan."

Lisa mengangguk patuh. Membiarkan Chaeyoung membersihkan darah yang mengalir dari hidungnya. Karena saat ini, menyembunyikan rasa sakit itu sendiri tak ada gunanya. Lisa masih ingin hidup, dan melengkapi puzzle mereka.

Puzzle Piece ✔Where stories live. Discover now