48. Building The Happiness

18.4K 1.7K 693
                                    

Rasanya sudah lama sekali dia tidak melihat sinar matahari yang cerah. Kali ini, dia bisa menatap sepuasnya cahaya itu dari jendela kamar rawatnya.

Sejenak, pikiran gadis itu melayang jauh. Memikirkan, bagaimana jalan hidupnya yang sama sekali tak terduga. Karena hal yang menimpanya kini, sama sekali tak pernah ia bayangkan.

Dulu, seseorang pernah berkata padanya. Manusia benar-benar tak bisa berekspetasi mengenai masa depan. Kelak, akan ada satu masa dimana manusia akan menerima masalah yang tak akan pernah terpikirkan saat ini. Masalah yang benar-benar tak pernah ia duga sebelumnya.

Sekarang, Lisa merasakan itu. Dia tak pernah berpikir akan mengalami kecelakaan yang merenggut dua organnya sekaligus serta kemampuannya untuk bergerak.

Lisa tidak marah pada takdir. Karena jalan hidupnya memang seperti ini. Terpuruk pun bukan hal yang menguntungkan untuknya sekarang. Dia hanya masih terlalu tak percaya, bahwa sedang berada di titik ini.

Merasa pegal karena cukup lama menoleh ke arah jendela, Lisa mulai merubah pandangannya. Kini menatap sang ibu yang tampak merenung di samping ranjangnya.

Sudah empat hari lamanya Lisa membuka mata setelah operasi itu. Sampai sekarang, dia selalu mendapati raut kesedihan di wajah ibunya.

Menjadi Hanna, pasti sangat berat. Dulu, wanita itu ketakutan ketika Chaeyoung dilanda sakit parah. Dan akhir-akhir ini, walau Chaeyoung sudah sembuh tapi rasa takut di hati Hanna tak pernah pudar. Tentu saja karena Lisa.

"Eomma," panggil Lisa lirih. Membuat Hanna tersentak kaget.

"Eoh? Lisa membutuhkan sesuatu?" Hanna bertanya dengan panik. Walau Dokter bilang operasi itu berhasil, tapi sampai sekarang perasaan Hanna tak pernah tenang sedikit pun.

Lisa sulit sekali menggerakkan tangannya. Tapi dia berusaha keras untuk menggenggam tangan sang ibu hingga beberapa titik keringat muncul. Setelah berhasil, dia memaparkan senyum tipis.

"Hm. Aku butuh senyumanmu sekarang."

Hanna tertegun. Apakah karena dia terlalu bersedih hingga lupa bahwa Lisa membutuhkan sosok ibu yang tegar? Hanna juga ingat, bahwa empat hari ini bahkan dia tak pernah memberikan kalimat menenangkan untuk Lisa, yang pasti lebih terpuruk dari pada dirinya.

"Lisa tidak apa-apa? Lisa tidak merasa sedih?" Hanna memandang wajah pucat yang dihiasi oleh nasal canula itu sendu.

Anak bungsunya itu terlalu hebat, hingga Hanna tak pernah sekali pun menemui titik sedih pada pandangan Lisa. Bukannya setidaknya sekali saja, anaknya itu merutuki takdir?

"Aku tidak akan bisa merasa sedih, karena sumber kebahagiaanku selalu berada di sisiku." Karena kesedihan Lisa, hanyalah kehilangan salah satu sumber kebahagiaannya.

Gadis itu tak akan pernah merasa keberatan, jika Tuhan merenggut seluruh tubuhnya. Tapi gadis itu, akan merasa hancur ketika Tuhan justru mengambil salah satu sumber kebahagiaannya. Yaitu ketiga kakak dan kedua orang tuanya.

"Sekarang berikan aku senyumanmu. Aku membutuhkannya." Dengan mata berkaca, Hanna berusaha untuk tersenyum. Dia harus belajar, bagaimana selalu menjadi kuat seperti Lisa.

"Lisa!"

Pekikan itu terdengar bersamaan dengan pintu yang terbuka. Ketiga kakak Lisa muncul dengan wajah sumringah. Namun tidak dengan Lisa yang termenung melihat kedatangan ketiga malaikatnya itu.

"Kalian.... Apa yang kalian lakukan?" Mata Lisa berangsur memerah. Kebahagiaan yang terpancar dari ketiga kakaknya ternyata tidak bisa ia rasakan juga.

"Kami akan menemanimu, menunggu rambut yang akan kembali tumbuh." Jennie masih tersenyum cerah ketika mengatakan itu, dengan tangan mengusap kepala yang kini ditutupi oleh bannie berwarna hitam.

Puzzle Piece ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang