- 27 -

1.5K 189 41
                                    

Netra legam yang tampak sayu perlahan mulai menampakkan binarnya. Wajah pucat pasi masih mendominan, tapi hanya dengan mendengar deru napasnya yang teratur dari balik oxygen mask, hal tersebut cukup melegakan untuk Aksa.

Ia biarkan genggamannya merasakan jemari Dika yang perlahan bergerak mulai mengumpulkan kekuatan untuk sadar. Membuat fokusnya mulai abai pada sekitar, dan terkunci pada sosok Dika yang terbaring lemah. Rasanya menyakitkan melihat bagaimana binar itu memudar dari netranya, padahal baru kemarin Aksa melihatnya begitu bercahaya.

"Hei,"

Suara Aksa menjadi gema pertama yang Dika tangkap. Seolah menarik kesadarannya menuju sumber suara. Tepat ketika netranya terbuka, untuk kesekian kali Aksa menjadi sosok pertama yang dilihatnya.

Di sisi sebelah, ada papa dan mama yang wajahnya tampak sembab. Mama lebih dulu maju, mengusap surai Dika dan meninggalkan kecupan haru di dahinya.

"Makasih, nak. Makasih masih bertahan untuk kita." lirih Ratna. Di dalam dadanya sudah terlalu bising mengucapkan rasa syukur berulang kali.

Karena yang tidak Aksa tahu, semalam Dika bahkan sudah hilang, ketika dokter mengatakan detaknya sudah tidak selaras dengan detik. Dika ditemukan sudah dalam kondisi tidak sadarkan diri, tidak ada yang tahu berapa lama sesak itu sempat menyiksanya hingga merenggut kesadaran dan juga detaknya.

Tidak lama dokter datang untuk memeriksa kondisi Dika. Setelah dinyatakan normal dan stabil, salah seorang suster mengganti oxygen mask dengan nassal kanula.

"Kan udah dibilangin, kalau drop lagi aku enggak bisa temenin," ujar Aksa. Tangan kanannya masih sibuk menggenggam erat jemari Dika, seolah tanpa suara meminta untuk tetap tinggal.

"Buktinya sekarang ada disini," lirih Dika dari bibir pucatnya.

"Siapa suruh semalam susah dikasih tau,"

"Aku juga udah nurut,"

"Jadi kenapa bisa drop?"

Perlahan tangan Dika bergerak, menunjuk dada kirinya sendiri, "Dia ngeyel lagi."

Aksa mengerjap sebentar, membawa tangannya ikut mengusap dada kiri Dika.
"Sabar, yah. Nanti dicariin ganti, yang lebih penurut. Hm?"

"Tapi capek," lirih Dika, "banget." hampir tidak terdengar.

Tapi kalimat singkat itu berhasil membuat Aksa bungkam. Dia kehilangan kata-kata, sepertinya tidak lagi mempan untuk Dika bagaimanapun Aksa berusaha untuk menghiburnya dengan harapan-harapan yang bahkan Aksa saja tidak yakin dengan hal itu. 

Setelahnya Aksa memilih untuk kembali ke ruangannya. Sekali lagi mengabaikan Dika yang menahannya untuk tetap disisinya. Aksa hanya butuh waktu untuk sendiri.

Disana, seorang diri ia menangis. Untuk pertama kali membiarkan semesta tahu bahwa dia juga bisa marah, dan saat ini ia sangat marah.  Marah karena lagi-lagi ia tidak bisa melakukan apapun, marah karena ia hanyalah seorang anak 16 tahun yang tidak memiliki korelasi apapun untuk sekedar berusaha menyelamatkan Dika, marah karena ia hanya bisa diam sembari menunggu sampai Dika bisa diselamatkan.

Aksa membenci bagaimana semesta menyelamatkannya hari itu. Padahal seharusnya dia bisa mati, dan memberikan jantungnya untuk Dika. Seharusnya seperti itu.

*

Setelah menghabiskan tiga hari lagi di rumah sakit akhirnya kini Dika sudah boleh pulang, beda dengan Aksa, ia justru merengek minta pulang karena bosan di rumah sakit, rasanya menyebalkan setiap pagi harus sendirian di dalam ruangan karena semua orang sedang sibuk. Dengan mengantongi banyak petuah dari dokter, akhirnya Aksa juga diperbolehkan pulang.

SILHOUETTE ✅Where stories live. Discover now