- 5 -

4.1K 356 13
                                    

Aksa duduk didepan IGD, kedua tangannya saling bertautan erat dengan kepala yang tertunduk dalam. Berusaha menahan diri mati-matian agar pertahanannya tidak runtuh ditempat ini. Ia tidak bisa sendiri, ia butuh seseorang untuk berbagi ketakutannya, dan keadaan lorong IGD yang begitu sunyi sore ini seolah semakin merengkuh Aksa dalam keterpurukannya.

Derap langkah kaki yang mendekat membuat Aksa akhirnya mendongak, mendapati Mama dan Papa berjalan dengan cepat mendekatinya. Detik itu Aksa berdiri, untuk lebih dulu menghampiri keduanya.

"Pa, Dika ..." Suara Aksa tercekat oleh sesak didadanya yang semakin menjalar, menciptakan cairan bening yang mulai menggenang pada kelopak matanya.

Pras meraih tubuh Aksa dalam pelukan, berusaha menenangkan Sulungnya. Sedang Ratna menggunakan punggung Pras untuk menangis, menunjukan kehancuran yang sama.

Bahu Aksa bergetar hebat, suara isak tangisnya dibalik dada bidang sang Ayah terdengar memilukan. Aksa memang seperti itu, bahkan hanya dengan melihat Dika kolaps bisa menghancurkan dunia Aksa dengan sempurna, apalagi dalam keadaan seperti tadi, dihadapannya, dipangkuannya, dan hanya dengan dirinya seorang, Dika kembali bertemu dengan kelamnya tepat ketika hanya ada Aksa disana.

"Abang tenang, yah. Adek kuat, bang. Adek nggak apa-apa, udah jangan nangis." Pras, sebagai kepala keluarga, maka ia yang harus paling tegar menghadapinya. Meskipun di dalam sana ia sama hancurnya.

Aksa membalas pelukan Papa dengan erat, melampiaskan segala ketakutannya, berharap rengkuhan Papa bisa memberikan harapan baginya. 

"Dika kesakitan didepan aku, Pa ... tangan Dika dingin banget, aku gak bisa ngurangin rasa sakit adek ... aku bukan abang yang baik, Pa."

"Ssstt.. udah, nak, udah. Gak, kamu sudah sangat baik bawa Dika dengan cepat kesini, Jangan salahin diri kamu," dalam pelukannya, Pras bisa merasakan Aksa yang menggeleng masih bertahan untuk menyalahkan dirinya, tapi setelah itu tidak terdengar jawaban apapun dari Aksa. Pras membiarkan anak itu menangis.

Tidak berselang lama setelahnya, pintu IGD terbuka. Seorang Dokter wanita yang sudah sangat akrab dengan keluarga Prasetya menampakan lengkungan sempurna dari kedua bibirnya.

"Kerja jantung Dika lagi-lagi mengalami penurunan. Beruntung Aksa bawa Dika kesini dengan cepat, tadi itu detaknya sangat lemah, jadi Dika dibiarkan istirahat dulu, aku tidak bisa memprediksikan kapan ia akan sadar, tapi, semoga secepatnya." jelas Dokter Farida.

Ucapan itu berhasil membuat mereka bisa bernapas lega. Meski mereka tahu betul, kejadian seperti ini akan terus terjadi dan menghantui mereka. Selama Dika belum mendapatkan donor jantung.

"Dika akan dipindahkan ke ruang perawatan, kalian bisa menjenguk Dika disana."

*

Aksa memandangi pintu ruang rawat Dika dengan tatapan nanar. Tersimpan banyak duka dalam tatapan tersebut yang sebenarnya menjadi alasan Aksa hingga satu jam setelah Dika dipindahkan ke ruang rawatnya, ia belum juga berani untuk masuk ke dalam. Kejadian sore tadi masih membekas dalam ingatan Aksa, masih menyisakan kesakitan dalam dadanya, membuat sosok Aksa luluh lantah. 

Akhirnya Aksa memilih untuk menuju musholla rumah sakit. Masih dengan celana abu-abunya dengan kemeja putih yang telah ia tanggalkan dan disimpan didalam ransel. Bahkan Aksa masih lengkap, memakai sepatu serta ransel yang tersampir dibahunya.

Setelah melakukan ibadah shalat magrib, Aksa kembali ke ruangan Dika. Kali ini ia memberanikan diri untuk masuk, juga menemani Dika karena Mama sama Papa pulang untuk mengambil keperluan Dika selama dirawat di RS. Biasanya, anak itu hanya akan menunggu di depan ruangan Dika saja. Perlahan, Aksa menuntun tungkainya untuk mendekati brankar Dika. Bisa ia lihat dengan jelas, masker oksigen yang Dika gunakan tampak dipenuhi uap napas Dika yang teratur setiap kali ia menghembuskan napasnya. 

SILHOUETTE ✅Where stories live. Discover now