- 17 -

3.8K 354 36
                                    

Sabtu pagi. Hari libur akhirnya tiba, rasanya hari terlalu lama berlalu sampai untuk menikmati hari libur saja sangat jarang bagi Aksa. sudah hampir sebulan kedua orang tua si kembar pergi ke Belanda, sesekali menghubungi kedua anaknya untuk menanyakan kabar atau sekedar melepas rindu yang lebih sering kepada Dika daripada Aksa. Awalnya Aksa merasa iri, tapi mengingat kondisi Dika yang memang tidak pernah berjarak selama ini dengan kedua orang tuanya membuat Aksa maklum.

Tersisa seminggu lagi sebelum olimpiade Biologi yang sempat tertunda. Itu berarti satu minggu kedepan adalah hari-hari yang berat bagi Aksa karena harus belajar mati-matian. Beban dari sekolah yang meminta mereka meraih posisi pertama terasa sangat berat bagi Aksa, meskipun kehadiran Annisa yang melampaui batas bisa menjamin ekspektasi sekolah, tapi tetap saja rasa khawatir mengecewakan tetap ada. 

Dan sebelum hari-hari berat itu datang, Aksa hanya ingin sekali lagi menjadi berbeda, sambil merapalkan dalam hati usahanya kali ini akan berbuah hasil. Sekecil apapun hasil tersebut, Aksa hanya ingin bisa berbagi kehangatan dengan Dika. Sejujurnya, Aksa merindukan Dika. Sangat. Sampai rasanya mau mati.

Pukul 6 pagi. Aksa sudah lengkap dengan pakaian olahraganya, kini berdiri di depan kamar Dika. Ia ingin mengajak adiknya jogging sekitar kompleks, berharap hari ini Dika tidak akan menolak apapun yang Aksa pinta meskipun itu pasti mustahil. Bahkan semalam Aksa menceritakan rencananya ini pada Adam dan Annisa, meminta doa keduanya semoga rencanya berhasil.

Aksa menghela napas panjang, lantas membuangnya kasar. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Ia tidak menyangka menghadapi adik setengah jamnya itu mampu membuat Aksa segugup ini. Padahal posisinya ialah yang kakak, kenapa harus takut dengan adik sendiri? hingga tangan Aksa terjulur hendak mengetuk pintu, tetapi sebelum terjadi pintu dihadapannya terbuka. Dika keluar dengan pakaian olahraganya lengkap sepatu kets yang tampak masih bersih karena jarang sekali dipakai. 

Aksa mengerjap antara tidak menyangka dan.. entahlah. Perasaannya kini sedang tidak bisa dijelaskan melihat Dika dihadapannya.

"Kenapa?" 

Suara berat Dika memecah hening. Menyadarkan Aksa dari pikiran-pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Tiba-tiba ia lupa caranya bicara.

"Eh-- ah-- huh? K- kenapa?." Tolong, Aksa benar-benar gugup sekarang!

"Ngapain depan kamar aku?" Dika memperhatikan penampilan Aksa dari atas sampai bawah dengan tatapan datar khas Dika yang sangat sulit terbaca oleh Aksa, "Mau jogging, kan? yaudah ayok" setelahnya Dika berlalu begitu saja, melewati Aksa yang masih mematung, mencerna semua yang terjadi dihadapannya.

Aksa memperhatikan punggung Dika yang mulai menjauh darinya menuruni anak tangga. Padahal Aksa sudah menyusun rencana seandainya Dika menolak ajakannya, akan mengancam anak itu dengan tidak memberikan sarapan, atau paling tidak bersikap tegas layaknya seorang abang dihadapan Dika meskipun itu sama saja membunuh karakter Aksa yang terkesan penuh dengan kelembutan. Padahal Aksa sudah menyusun rencana, untuk bisa melakukan apapun demi Dika. Hari ini. 

Tapi sepertinya semesta sedang berbaik hati untuk Aksa. Bahkan tanpa ajakannya Dika seolah paham dan melakukan apa yang Aksa inginkan. Bolehkah Aksa percaya bahwa ikatan bathin antara dirinya dan Dika itu nyata adanya? meskipun sekecil apapun itu. Senyum Aksa merekah lantas memilih untuk segera mengikuti Dika.

"Dika tungguin!"

Pekikan Aksa mengudara. Meskipun tidak mendapat jawaban dari Dika, tetap saja senyum itu semakin merekah lebar dari kedua sudut bibir Aksa. 

*

Bukan tanpa alasan Dika tiba-tiba bersikap seperti ini. Kalau bukan karena Adam yang menghubunginya tengah malam, menceritakan rencana Aksa sambil memohon pada Dika untuk sekali ini saja meskipun harus dengan bersandiwara didepan Aksa, mengizinkan sosok itu merasakan bahagia barang sejenak. 

SILHOUETTE ✅Where stories live. Discover now