- 11 -

3.2K 300 8
                                    

Suasana siang itu entah bagaimana mampu membuat Dika merasa kosong. Padahal ia sedang ditengah keramaian lalu lalang orang yang hendak meninggalkan dan ditinggalkan. Pandangannya mengedar, menyaksikan bagaimana banyak orang yang saling berpelukan, entah untuk sebuah pertemuan atau perpisahan. Dika tidak bisa menebaknya dari raut mereka, sekumpulan orang itu hanya terus tersenyum dan kadang tertawa bersama, tidak ada tanda-tanda kesedihan hendak berpisah.

Pandangannya diedarkan lagi ke arah lain. Pada sekumpulan yang lebih mudah terbaca menurut Dika. Aura perpisahan terpancar jelas dari arah tersebut. Apalagi melihat seorang wanita paruh baya yang sudah berlinangan air mata sambil terus mengecup pipi gadis dihadapannya. Mengusap wajah yang Dika tebak adalah anaknya sambil mulutnya komat-kamit entah berucap apa, mungkin memberikan wejangan, nasihat orang tua untuk anaknya sebelum menjalin hubungan jarak jauh.

Kali ini Dika melirik ke arah kedua orang tuanya. Ini adalah pertama kalinya Dika ke tempat ini dengan tujuan berbeda, tempat dimana orang-orang menyambut dan merelakan pergi, dengan tujuan mengantar. Keluarga Pras tidak pernah melakukan perjalanan terpisah seperti ini, perjalanan bisnis sekalipun selalu mengikut sertakan kedua putranya yang dirangkaikan dengan liburan keluarga, jadi, perasaan ini sangat asing bagi Dika.

"Adek sini," panggilan Ratna membuat Dika terdiam sejenak, ia menggigit bibir bagian dalamnya, sedikit menimang hingga akhirnya memilih menurut dan mendekati keluarganya.

"Adek kenapa?" tanya Ratna.

Dika bergantian menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi tidak terbaca. Dalam hati, Dika mati-matian menahan diri untuk tidak mengucapkan kalimat 'jangan pergi'. Semakin lekat ditatapnya Pras dan Ratna, semakin kentara rasa kosong itu.

Dika memejam, tangannya terangkat untuk menyentuh dadanya. Ah, sial! Bahkan rasa gelisah saja mampu membuat detak didalam sana tidak karuan, nyeri itu perlahan mulai mengusik Dika. Bersamaan dengan bunyi tidak beraturan dari iwatch yang digunakannya, benda yang selalu merekam detak jantung Dika.

"Dika? Kamu kenapa, nak?" Ratna mulai cemas. Begitupun dengan Aksa dan Pras yang sedang bercerita, mendekat ketika mendengar suara Ratna.

Dika masih memejam, berusaha mengatur napasnya yang tersengal. Dika tidak mau kalah kali ini, ia juga tidak ingin merepotkan kedua orang tuanya. Perlahan, nyeri itu berangsur-angsur hilang, detak jantungnya juga mulai normal kembali, bersamaan dengan suara dari iwatchnya yang mulai berbunyi normal, hingga akhirnya menghilang.

Dika menyibak kedua netranya, menatap netra sang bunda yang lagi-lagi mulai berlinang, "Nggak apa-apa, Ma. Mama sama Papa perginya jangan lama-lama," ujar Dika mengalihkan kecemasan Ratna.

Tapi siapa sangka, ucapan tersebut yang justru meluruhkan air mata Ratna. Segera ia menyekanya dan tersenyum pada Dika. Sejujurnya, yang memberatkan perjalanannya adalah karena khawatir meninggalkan Dika, apalagi ia akan meninggalkan Dika dirumah berdua saja dengan sang kakak, mengingat hubungan keduanya yang renggang sejak lama menambah kehawatiran Ratna, tapi membawa serta Dika dengannya juga bukan pilihan yang tepat, ia takut justru selama di Belanda anak itu akan terabaikan karena kesibukan mereka, lagipula, sulit kalau Dika masih harus menyesuaikan dengan keadaan disana.

"Mama sama Papa janji gak akan lama. Iya 'kan, Pa?"

"Iya, adek jaga diri disini, yah." Pras menarik Dika dalam pelukannya, "Nurut sama abang, jangan begadang, jangan terlalu capek. Nanti check up perginya sama abang, oke?" Dika tidak menjawab dan Pras mengerti. Pras melirik sejenak pada Aksa yang hanya menunduk sejak dirinya dibahas dalam percakapannya dan Dika.

Aksa sebagai kakak nggak boleh cengeng. Selama mama sama papa pergi, Dika tanggung jawab Aksa. Jangan sampai Dika kenapa-napa. Janji?

Ucapan papa semalam masih terus terngiang dalam benak Aksa. Apa dia bisa?

SILHOUETTE ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang