- 4 -

4K 351 12
                                    

*Flashback*

Semua terjadi begitu cepat. Tanpa diduga dan tanpa diterka sebelumnya. Tubuh Dika yang masih bersimbah peluh itu tiba-tiba ambruk di tengah lapangan, tepat ketika mereka sedang menyoraki keberhasilannya karena telah mencetak gol untuk tim mereka.

Suara memekik terdengar hampir dari semua penonton, dan Mama yang langsung melompati kavling pembatas antara penonton dan lapangan. Permainan seketika terhenti, para anak-anak kecil seumuran Dika itu justru mendekat, mengerumuni tubuh Dika yang sudah hilang kesadaran. Dengan berlari, tim medis menghampiri Dika.

Salah satu dari mereka mengecek denyut nadi dari pergelangan Dika, tidak menemukan apapun, ia beralih menempelkan telinganya di dada Dika kecil, tapi sama saja. Tidak ada detak disana. Hingga tim medis tersebut akhirnya melakukan resusitasi. Memompa dada Dika kecil dan mulai berhitung cemas. Sedang Mama, perempuan itu sudah menangis melihat raut pucat Dika dengan bibir yang mulai membiru.

Dari jauh, Aksa memperhatikan setiap inci kejadian tersebut dengan kedua tangan saling meremat, bibir mungilnya bergetar sambil terus menggumamkan nama Dika. Hingga sebuah dekapan tiba-tiba menariknya, meluruhkan segala ketakutan Aksa, tepat saat itu pula tangisnya pecah.

Di dalam ruangan yang dominan putih, Aksa terdiam sambil menatap sang Adik yang masih belum sadarkan diri. Tangannya terjulur sambil memainkan jari-jari mungil Dika, berharap Dika akan merasakan kehadirannya dan segera membuka matanya.

Kedua orang tua si kembar sedang berada di ruangan dokter, membicarakan kondisi Dika yang dianggap sebagai obrolan orang dewasa, sehingga Aksa diminta untuk menjaga Dika saja. Khawatir kalau Dika sadar dan tidak menemukan siapapun disekelilingnya, Dika pasti akan menangis.

Perlahan, kelopak mata Dika terbuka, menampilkan binar manik legamnya. Ia mengerjap, memperhatikan sekeliling dengan dahi berkerut, sampai ia meringis karena merasakan tangan kirinya yang kebas, dan menyadari ada jarum infus tertancap disana.

"Dika? Dika, ini abang."

Dika tersenyum sambil memamerkan giginya. Membuat Aksa bingung apa yang sedang dipikirkan Adiknya. Tangannya meremat erat tangan Dika yang bebas dari jarum infus dan rasa dingin serta basah mendominasi genggaman tersebut.

"Dika nggak apa-apa? Mana yang sakit?" tanya Aksa khawatir. Dika hanya menggeleng lemah. Meskipun sudah tidak merasakan sait, namun sekujur tubuhnya terasa lelah. Tapi kemudian, netra legamnya membulat. Ingatannya membawa pada kejadian sebelumnya.

"Oh iya! Pertandingannya gimana, bang?"

Aksa mendengus, "Jangan dulu mikirin itu, tadi Dika kenapa tiba-tiba jatuh? Ada yang sakit?"

Diingatkan tentang hal itu, entah kenapa membuat Dika merasa takut. Takut kalau rasa sakit yang tadi akan menghampirinya lagi. Kali ini justru Dika yang menggenggam erat tangan abangnya, berusaha menyalurkan ketakutannya.

"Ini sakit banget, bang. Tadi kayak mau meledak," suara Dika bergetar dengan cairan bening yang sudah menggenangi kelopak matanya, sebentar lagi akan terjatuh. Dibawanya tangan Aksa untuk menyentuh sumber rasa sakitnya.

Dengan lembut, Aksa menarik tangannya. Kini memosisikan telapak tangan mungilnya untuk mengusap pelan dada Dika.

"Nanti diobatin sama Dokter biar gak sakit lagi, yah. Dika jangan takut," lirih Aksa.

Bukannya merasa tenang, Dika justru mulai menangis dan membuat Aksa terkekeh. Wajah Dika yang sedang menangis jelek sekali menurut Aksa.

"Dek, udah. Katanya jagoan, masa nangis? Muka kamu jelek banget kayak om Mr. Bean, hahaha." Aksa mencubit pipi Dika gemas.

SILHOUETTE ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang