- 14 -

3.8K 341 26
                                    

Setelah hampir satu minggu dirawat di rumah sakit, akhirnya hari ini Dika diperbolehkan pulang. Aksa juga sudah masuk sekolah terhitung pagi tadi, sengaja pulang tepat waktu karena akan mengurus kepulangan Dika sore ini.

Dika dengan balutan jaket tebal miliknya duduk diatas brankar sambil kaki menjuntai ke bawah yang terus diayunkannya. Matanya tidak lepas dari sang kakak yang sibuk mengatur barang-barangnya, masih dengan balutan seragam putih abu-abu, kemeja Aksa tidak dikancing, menampilkan kaos hitam polosnya. Peluh membanjiri wajah Aksa yang sudah tampak kusam karena kelelahan. Dengan bahunya, Aksa mengapit gawai ditelinganya, ia sedang berkomunikasi dengan Ratna yang menanyai kabar Dika. Sedangkan Dika, ia bisa melihat dengan jelas abangnya kewalahan.

"Iya, Ma. Ini aku baru mau nebus obat Adek setelah beres-beres,"

"Kamu ini, kok nggak dari kemarin, sih?"

"Kan bisa sekalian juga kalau keluar nanti, Ma,"

"Iyaa.. tapi jadinya kamu juga 'kan, yang kewalahan. Eh, tapi, bang, kamu sehat, kan?"

Pergerakan Aksa terhenti mendengar pertanyaan terakhir mamanya. Ia mengerjap dengan seulas senyum simpul. Sejak pergi, mama dan papanya sibuk menelpon Aksa hanya untuk menanyakan keadaan Dika, entah kenapa Aksa sedikit merasa lega mendengar mama bertanya keadaannya. Ah, Aksa pikir dia sudah dilupakan.

"Enggak kewalahan, kok. Aku juga nggak apa-apa, alhamdulillah."

"Bagus kalau gitu, skarang adek lagi apa?"

Aksa menoleh ke arah Dika, tanpa sengaja netra kembar keduanya bertemu, tatapan Dika membuat Aksa tersenyum kaku, sejujurnya ia tahu sejak tadi Dika terus memperhatikannya, yang membuat Aksa menjadi canggung sendiri adalah, karena Dika menatapnya dengan raut wajah tanpa ekspresi. Dan tatapan tidak terbaca itu membuat Aksa enggan menatapnya lebih lama. Membuat Aksa yang lebih dulu memutus kontak mata keduanya, ia kembali beralih atensi pada tas besar dihadapannya.

"Lagi duduk aja, nungguin aku selesai beres-beres. Mama Papa sehat-sehat disana?"

"Iya, kita juga baik-baik aja. Kamu nggak usah khawatir. Mama sama papa belum bisa pastiin kapan pulang, nak. Tapi kita usahain secepatnya. Kamu nggak apa, kan?"

"Iya, nggak apa-apa. Yang penting mama sama papa juga jaga kesehatan disana. Udah, ya, Ma. Aku udah selesai beres-beres ini, bye, Assalamu alaikum."

Setelah memutus sambungan, Aksa bangkit mendekati Dika sambil menenteng tas besar berisi pakaiannya dan pakaian Dika. Meskipun Dika tidak lagi menatapnya, tapi masih saja bergelayut tanda tanya besar dalam benak Aksa perihal tatapan Dika. Biasanya Dika paling enggan menatap sang kakak lama, tapi kali ini, Dika justru membiarkan tatapan keduanya bertemu tidak hanya sekali, dan anehnya, ia tidak memalingkan wajah seperti biasanya. Bukannya senang, Aksa lebih merasa takut dengan sikap Dika yang tiba-tiba jadi aneh.

"Yuk pulang," ujar Aksa.

Dika tidak menjawab, tetapi ia langsung turun dari brankar. Membiarkan Aksa berjalan lebih dulu didepannya sedang Dika mengikuti dari belakang.

Tubuh yang memiliki tinggi sama persis dengannya, punggung tegap dihadapannya, juga ransel hitam yang tampak mulai lusuh. Langkah Dika pelan sambil terus memperhatikan sosok yang mengunci atensinya sejak pejam panjang itu berakhir, itu terus menjauh dengan langkah cepatnya. Dika merasa asing, untuk pertama kali sosok itu terlalu menghabiskan banyak waktu untuk terus berada disekitarnya, terus-terusan menjadi objek yang pertama kali ia lihat kala maniknya terbuka. Sejujurnya semua itu terasa asing bagi Dika, meskipun ia tidak bisa mengelak bahwa dibalik rasa asing itu, juga ada rasa aman.

Dika kembali mengingat kejadian dua hari lalu, perdebatan antara dirinya dan Adam, nyeri yang hampir membunuhnya, juga kehadiran sosok yang menggenggam tangannya erat, sama persis rasa hangatnya ketika petang itu Dika juga merasa diambang kematian, rengkuhan dari sosok yang dianggapnya delusi. Tapi yang kemarin itu nyata, Dika yakin.

SILHOUETTE ✅Where stories live. Discover now