- 28 -

1.5K 192 79
                                    

Mungkin benar, Adam itu tidak punya teman selain Aksa dan Reza kalau di sekolah. Bukan berarti tidak ada yang ingin berteman dengannya, justru kebalikan, Adam yang sulit diajak untuk berteman. Sejak dulu memang selalu begitu.

Sejak kecil circle pertemanannya hanya Aksa dan Dika. Kalau Reza? Reza itu teman Aksa sejak kelas 10 yang secara otomatis menjadi teman Adam juga. begitulah trio itu terbentuk.

Setelah Reza pergi dan Aksa yang belum masuk sekolah karena sakit, Adam jadi jarang berinteraksi dengan orang lain, belum lagi suara bising yang ternyata masih belum berhenti membicarakan mereka bertiga. Bahkan berinteraksi dengan teman klub sekalipun hanya sekenanya saja. Kalau ada yang penting dan perlu untuk dibahas.

Dan hari ini semua bete nya terbayarkan. Sepulang sekolah bukannya kembali ke rumah, Adam malah keluyuran ke rumah Aksa. Masih dengan jersey bertuliskan club footsal sekolah dengan nomor punggung 13 dan namanya di bagian belakang, tidak lupa dengan keringat yang membuat jersey itu menempel pada tubuhnya.

Adam sudah sibuk dengan stick PS ditangannya, memainkan game footbal favoritnya sebagai solo player, juga club favorit yang selalu dibanggakan, Real Madrid.

Aksa? anak itu sedang sibuk mengatur pakaiannya didalam lemari. Entah sedang kerasukan setan apa, ketika Adam sampai Aksa tampak sibuk membereskan pakaiannya, mulai menyisihkan pakaiannya yang tidak terpakai, mengatur kembali apa-apa yang seharusnya ada ditempatnya. Aksa tiba-tiba menjadi serajin ini.

Sedangkan Dika, anak itu sibuk dengan permainan puzzle dari tabnya. Duduk di balkon kamar Aksa seorang diri. Tampak fokus pada layar tab yang menampilkan potongan puzzle secara acak, seolah tidak peduli pada kehadiran Adam disana. Pun, mengabaikan angkasa yang perlahan semakin kelabu dengan angin sepoi yang mulai menusuk kulitnya.

"Sa, lo tau Reza punya adek?" suara dari layar TV dengan volume besar saling bersahutan dengan Adam. Meskipun butuh tenaga ekstra untuk berbicara karena harus meninggikan suara, Adam masih saja enggan mengecilkan volume TV tersebut. Katanya, mainnya enggak seru kalau volume suaranya kecil.

"Hah? enggak. Gue aja baru tau kalo bokap dia kerja di kantor papa waktu itu. Emang ada?"

"Ho'oh," ujar Adam, matanya masih fokus pada layar TV, "Yang nganterin makanan lo waktu itu dan ngaku dari gue," lanjut Adam.

Dika yang sejak tadi sibuk sendiri kini harus ikut membagi atensinya. Ikut menguping pembicaraan Adam dan abangnya.

"Citra?! lo tau dari mana?" atensi Aksa tertuju penuh pada Adam.

"Dia sendiri yang ngaku ke gue. Kalo bukan karena dia juga malam itu gue sama polisi mungkin terlambat nemuin lo sama Dika,"

Aksa masih terus menyimak ucapan Adam, kendati ia bangkit dari posisinya untuk menyalakan lampu kamarnya. Langit yang mulai menggelap membuat kamar Aksa juga semakin gelap, padahal masih siang.

"Dek, masuk. Bentar lagi hujan," teriak Aksa pada sosok Dika yang berada di balkon. Dan seperti biasa, lagi-lagi Aksa diabaikan oleh Dika. Kalau soal seperti ini, Dika memang harus diberi tahu lebih dari sekali. Bahkan berkali-kali, atau harus dengan intonasi marah dulu supaya anak itu bisa nurut.

"Terus dia dimana sekarang?" Aksa masih belum ingin mengakhiri tentang Citra. Setidaknya, ia harus tahu bagaimana keadaan Citra. Bukan sebagai anak korban phk dari perusahaan papa, tapi sebagai adik sahabatnya.

"Itu dia. Tadi gue sempet ke kelasnya nyari, kata temen kelas dia udah pindah 2 hari yang lalu. Satu-satu nya keluarga yang tersisa, bawa dia karena enggak mungkin tinggal sendiri disini. Tapi enggak ada yang tau kemana."

Aksa menghela napas kasar. Semua kekacauan ini ternyata bukan hanya berdampak untuk dirinya saja, bahkan Reza sekalipun menaruh risiko terbesar, dipisahkan dari satu-satunya keluarga yang tersisa.

SILHOUETTE ✅Where stories live. Discover now