- 8 -

3.3K 282 23
                                    

Sejak hari dimana vonis itu disampaikan pada keluarga Pras, banyak hal yang berubah. Terlebih suasana rumah yang tidak seramai dulu dengan ocehan Dika. Sosok Dika bahkan seolah menghilang dari sudut-sudut rumah tersebut, gema suara tawa Dika mulai terganti dengan hening. Dalam sehari, suasana rumah yang penuh warna itu berubah kelam. Dika lebih banyak menghabiskan waktu di kamarnya, atau bisa dibilang, Dika benar-benar mengurung diri di kamarnya.

Aksa baru saja keluar dari kamarnya untuk makan malam. Tapi langkahnya terhenti tepat di depan pintu yang bersebelahan dengan pintu kamarnya, karakter kartun 'Captain Tsubasa' yang sedang menendang bola tergantung rapih di depan pintu kamar tersebut, tepat di bawah gambar itu, nama DIKARA terukir.

Sejujurnya, Aksa sangat merindukan Dika. Sejak keluar dari rumah sakit seminggu yang lalu, Aksa belum pernah lagi bertemu dengan Dika. Padahal mereka tinggal satu atap, kamar mereka bersebelahan, bahkan ada jendela kayu penghubung kamar keduanya tepat pada bagian meja belajar keduanya. Setiap kali Aksa ingin menemui Dika, Ratna selalu mencegahnya, mengatakan bahwa Dika masih butuh istirahat dan meminta Aksa untuk tidak mengganggu Dika dulu.

Tiba-tiba pintu kamar Dika terbuka. Ratna dan Dika keluar bersamaan dari kamar Dika, langsung saja senyuman Aksa mengembang, menunjukkan gigi kecilnya.

"Dika!" panggilan Aksa membuat Dika menoleh padanya, manik kembar keduanya saling bertemu, tapi tidak lama, karena setelahnya Dika langsung berpaling tanpa ekspresi lantas membawa tungkainya menuruni setiap anak tangga.

Senyuman Aksa perlahan memudar, berganti dengan tatapan sendu dan kecewa yang sulit diartikan. Kerutan kecil di dahi Aksa juga tatapannya mengikuti langkah Dika yang semakin menjauh. Ratna yang melihat ekspresi sedih Aksa segera merangkul anak sulungnya tersebut, memberikan usapan lembut pada puncak kepalanya.

"Maafin Adek, ya, bang. Adeknya 'kan, lagi sakit, makanya sedikit sensitif. Yaudah, yuk, kita ke bawah, kita makan malam sama Adek malam ini." Senyum di wajah Ratna membuat Aksa juga akhirnya kembali menyunggingkan senyumnya. Lantas keduanya berjalan beriringan menuju ruang makan.

Suasana makan malam keluarga Pras berjalan seperti sebelum-sebelumnya, tetap ramai oleh bincang-bincang mereka meskipun Dika yang dulunya lebih cerewet kini justru lebih banyak menghabiskan waktunya untuk diam dan fokus pada makanannya saja. Hanya Pras yang terus berusaha mencairkan suasana.

"Gimana persiapan ujiannya, bang? Aman, kan?" tanya Pras. Aksa yang sedang fokus memotong daging ayam di piringnya beralih menatap Pras.

"Mmmm.. baik. Tadi bu guru muji aku, Pah. Ulangan harian matematika ku dapat seratus dong!" Aksa berucap riang sambil mengangkat kedua tangannya.

Suara tawa berat Pras terdengar, selanjutnya ia mengusap puncak kepala Aksa, "Gitu dong! Anak papa harus pintar di sekolah"

"Jadi kamu gak perlu guru les lagi, kan, nak?" kali ini Ratna yang bertanya.

"Nggak perlu, Ma. Bu Sukma ngajarinnya jelas banget kok, Aksa cepat ngerti"

"Lain kali kamu ajarin adek juga yah, biar adek nanti ujiannya nggak bakal kesulitan" ucap Pras. Aksa sontak menoleh pada Dika yang duduk disamping Ratna ketika mendapati Dika hanya diam sejak tadi. Biasanya ia akan ikut nimbrung sambil memamerkan prestasi-prestasinya dulu. Tidak Cuma Aksa saja. Tanpa mereka tahu, Dika diam-diam mendengarkan apa yang mereka perbincangkan. Genggamannya pada sendok dan garpu mengeras, melampiaskan rasa sakit hatinya atas suara tawa yang masih saja ia dengar, Dika merasa hilang, bahkan ditengah-tengah orang yang Dika pikir bisa menjadi tempatnya bersandar dan mengeluhkan segala kesah setelah semua ini.

"Adek, kan, juga cerdas, Pa. pasti nggak akan kesulitan, kok. Nanti Aksa bantu juga ajarin. Tutornya gimana, dek? Baik, gak?" tanya Aksa. Berusaha memancing Dika untuk kembali mengeluarkan segala ocehannya. Tapi berselang beberapa menit, Dika tetap bungkam.

SILHOUETTE ✅Where stories live. Discover now