- 9 -

3.1K 283 8
                                    

"Sa, jangan cepet-cepet dong jelasinnya, aku kurang jelas nangkepnya nih!"

Suara dari seberang sana mengundang kekehan Aksa. Aksa mengalihkan tatapannya dari buku paket didepannya pada layar macbook yang menampilkan wajah Annisa. Matanya tampak kuyuh, seperti sedang menahan kantuk.

Mereka masih melanjutkan sesi belajarnya meskipun hanya melalui face time, itupun atas permintaan Annisa yang tiba-tiba karena masih ada beberapa materi yang kurang dipahami olehnya.

"Lagian ini udah hampir tengah malam, Cha. Mana bisa fokus, mata lo aja udah kek kantung doraemon tuh,"

"Aksa. Satu aja deh, udah sampai system koordinasi tadi. Terakhir nih, janji!" Aksa hanya mendesah pasrah ketika dilihatnya Annisa sudah menangkupkan kedua tangannya didepan wajahnya khas orang memohon.

Aksa memperbaiki secara perlahan letak tangan kirinya yang baru saja dibalut perban siang tadi karena kecerobohannya. Tatapannya kembali fokus pada buku diatas meja belajar, sedang tangan kanannya asik memutar-mutar polpen.

"Oke, jadi system koordinasi yang mengatur hemeostatis— oh iya, hemeostatis tuh yang ngatur kondisi keseimbangan dalam tubuh kita, jadi kondisi tubuh kita akan berubah sesuai dengan kondisi lingkungan, contohnya gini—"

"Sa, serius lo mau nginep sini?"

Belum selesai Aksa menjelaskan, suara dari arah belakangnya mencuri atensi Aksa.

Aksa menoleh sejenak pada Adam yang sedang bersandar pada belakang ranjang sambil memainkan hpnya. Aksa tebak, ia sedang bermain PUBG.

"Hmm," jawab Aksa singkat, hendak melanjutkan penjelasannya pada Annisa, tetapi suara Adam kembali terdengar,

"Dika balik hari ini, lho, Sa."

Sejenak Aksa terdiam. Ia jelas tahu bahwa hari ini akhirnya Dika bisa keluar dari rumah sakit, seharusnya ia di rumah sekarang, menyambut kepulangan Dika seperti biasanya meskipun tidak akan mendapat respon apa pun. Tapi kali ini, entah kenapa Aksa justru merasa enggan melakukan hal yang sudah menjadi rutinitasnya selama 6 tahun belakangan ini. Ada rasa jengah dalam diri Aksa karena terus menerima penolakan.

"Seriously?" lirih suara Annisa membuyarkan lamunan Aksa, ia mengerjap lantas menoleh pada Annisa, tersenyum simpul, seolah hal yang baru saja mengganggu pikirannya tidak pernah terjadi.

"Eh? Sorry, Cha. Kita lanjut, ya. Lingkungan, kan, terbagi jadi dua, lingkungan dalam tubuh kita dan—"

"Aksara?" seolah abai dengan penjelasan Aksa, kini Annisa lebih ingin menggali lebih dalam perihal Aksa dan kembarannya, Dika. Sosok yang hanya bisa menjadi cerita bagi Annisa tanpa pernah ia lihat secara langsung.

Aksa memejam, berdecih pelan lantas melihat ke arah Adam sekilas dengan tatapan tajam, sedangkan Adam hanya menggidikkan bahu dengan senyum polos tampang tidak berdosa. Andai saja bukan karena perkataan Adam tadi, pasti Annisa tidak akan menginterogasinya seperti sekarang.

"Belajarnya lanjut besok aja. Jadi alesan kamu gak pulang gara-gara luka di tangan kamu atau karna Dika?" Aksa bisa mendengar suara buku tebal yang ditutup begitu saja dari seberang.

"Eemm.. dua-duanya, maybe," jawab Aksa. Ia beranjak menuju balkon kamar Adam. Mencari tempat nyaman sejenak untuk sesi curhatnya dengan Annisa agar Adam tidak ikut nimbrung dan membongkar semuanya pada Annisa.

Salah satu kebiasaan Adam adalah menceritakan masalah Aksa pada Annisa. Bukan karena ingin membongkar rahasia Aksa, hanya saja sikap dewasa Annisa dan bagaimana gadis itu mampu menjadi pawang Aksa menurut Adam bisa menjadi salah satu cara menghilangkan sifat egois dalam diri Aksa. urusan Dika, biar dia saja yang akan berusaha.

SILHOUETTE ✅Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt