- 31 -

2K 181 48
                                    

Langkah bocah itu dibawanya berlari menuruni anak tangga. Padahal seragam sekolahnya belum sempat diganti, membiarkan kemeja putih yang kancingnya sudah dibuka semua berkibar oleh angin yang diciptakan karena langkahnya terlalu cepat.

"Mamaah! Maah!" pekik bocah 13 tahun itu. Sisa peluh masih membasahi pelipisnya, membuat rambutnya yang menutupi dahi tampak lepek.

"Abang jangan lari-lari! Bahaya, nak!"

Derap langkahnya masih saja terdengar cepat, mengabaikan teriakan mamanya dari arah dapur. Ia masih tidak peduli, ada hal penting yang harus diberi tahu. Ada kabar baik yang ingin disampaikan. Tampak jelas dari wajah teduh bocah itu yang terlihat bersemangat.

Aksa yang saat itu duduk di bangku kelas 8 berlari mendekati mamanya sambil membawa selembaran kertas ditangannya.

"Mah! Mama harus liat ini!"

Kaki Aksa masih tidak bisa diam meskipun sudah didepan mama, menunjukkan betapa antusiasnya bocah tersebut.

Sedangkan Ratna yang sibuk dengan sayuran hijau segera meninggalkan pekerjaannya untuk mendengarkan celoteh sulungnya setelah sebelumnya sempat mencuci tangan.

"Mah, aku kepilih buat wakilin sekolah ikut Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia, mah! Kegiatannya sebulan lagi di Semarang, aku sama teman-teman yang kepilih nanti sekitaran 7 hari disana. Tapi sama guru pendamping, kok, gurunya wali kelas aku. Jadi ada yang jagain nanti, bukan dari panitianya. Ini surat izinnya, mama atau papa tinggal tanda tanganin, beres deh."

Dari penjelasan Aksa, anak itu terdengar begitu antusias. Sejak turun dari tangga sampai saat ini ia duduk di hadapan mama, senyumnya belum juga terlepas.

Ini mimpinya. Sejak awal berusaha belajar mati-matian untuk membuktikan pada gurunya bahwa dia pantas mengikuti lomba tersebut. Bahkan judul penelitiannya yang lolos seleksi bukan merupakan rekomendasi guru.

Tapi senyum anak itu pudar melihat ekspresi mama yang tidak terbaca, mama hanya membaca surat itu sekilas kemudian meletakkan begitu saja di atas meja.

"Abang mau ikut? 7 hari, kan, lumayan lama, nak. Kasihan Dika kalau enggak ada temannya di rumah."

Bocah itu mengerjap, mengatur napasnya yang mulai tidak karuan, "Mah, untuk bisa masuk dalam tim itu enggak mudah, aku udah begadang, belajar mati-matian, supaya judul penelitian aku ditrima, mah. Mama, kan, juga tau kalau dari dulu Aksa pengin banget ikut ini. Enggak lama, mah. Aku usahain selesai sebelum 7 hari, papa bisa langsung jemput tanpa aku harus nunggu hasilnya, please, maah"

"Mama pikir kegiatannya di Jakarta. Kalau disini, kan, kamu enggak perlu repot-repot pergi jauh, nak. Dika juga enggak harus kesepian karena enggak ada teman di rumah,"

Ratna mengusap puncak kepala Aksa, berusaha membuat anak itu mengerti. Meskipun ia tahu sangat berat bagi Aksa, tapi kesehatan mental Dika yang sudah berantakan karena fisiknya adalah hal yang perlu dijaga, bahkan dengan mengorbankan apapun. Termasuk mimpi Aksa.

Aksa bahkan belum mengucapkan pembelaan apapun ketika suara mama kembali terdengar, "Maafin mama, ya, sayang. Mama harap kamu bisa mengerti, nak. Kita sama-sama sedang berusaha menjaga Dika." Dan akhirnya berhasil memupuskan semua harapan Aksa.

Bahunya yang terlihat tegap luruh begitu saja. Netra anak itu tanpa sengaja melihat pada pintu kamar Dika yang terbuka di lantai dua, menampilkan Dika yang mungkin sejak tadi ikut menyimak pembicaraannya dengan mama. Tapi tepat ketika netra keduanya bertemu, Dika langsung menutup pintu itu. Menyisakan lengang panjang yang semakin menciptakan goresan di hati Aksa.

Tanpa mengucapkan apapun lagi, Aksa meraih selembaran tadi dari atas meja lantas menuntun kedua tungkainya dengan gontai kembali ke kamar.

Bocah itu memasuki kamarnya, menatap hampa layar laptop yang menampilkan kerangka sub bab penelitian  miliknya.

SILHOUETTE ✅Where stories live. Discover now