19 | 𝐬𝐨𝐦𝐞𝐨𝐧𝐞

220 55 7
                                    

Malam telah merayap mengganti siang. Sang surya mengendap menuju cakrawala senja dari balik langit. Bulan hadir membawa cahaya
Bintang bertabur dengan kilatan mempesona.

Malam itu sangat indah, tapi tak seindah hati seorang pemuda berambut pirang yang tengah menggoreskan pensilnya di atas kertas putih. Lampu duduk di atas meja belajarnya menjadi satu-satunya penerang dalam kamar kecil tersebut.

Garis-garis lengkung yang ia buat perlahan membentuk sebuah sketsa wajah seorang perempuan yang ia harapkan berada di sisinya, duduk di sebelahnya. Mata bulat bak boneka, bibir mungil yang manis, rambut pendek sebahu yang rapi, hatinya berdesir tatkala sketsa tersebut selesai dibuat. Kini lebih jelas memperlihatkan siapa itu.

Sebelah tangannya meraba sketsa yang ia buat sendiri. Afeksi yang telah ada dalam hatinya sejak pertama kali mengenal gadis itu, tak akan pernah lekang oleh waktu hingga detik ini. Namun sayang.. Perasaannya bertepuk sebelah tangan. Ia sadar akan hal itu. Tetapi perasaannya semakin hari semakin menumpuk. Yang awalnya hanya rasa peduli antar teman, kini berubah menjadi rasa cinta dan sayang. Bukan sesama teman, melainkan yang lain.

"Farlan!"

Pemuda bernama Farlan itu terperanjat kaget ketika gadis berambut maroon tiba-tiba membuka pintu kamarnya lalu masuk kedalam.

"Kau membuatku kaget"

"Ahahaha.. Maaf"

Isabel Magnolia, nama gadis berambut maroon itu. Isabel adalah tetangga dekat Farlan sejak Farlan pindah dari Osaka. Usia mereka sama, namun Isabel bersekolah di sekolah yang berbeda. Keduanya cukup dekat, bahkan keluarga mereka sering mengadakan acara makan bersama ketika hari libur panjang.

"Ada apa masuk ke kamarku malam-malam?"

"jangan sinis" gerutu Isabel, "aku baru saja membawakan pie apel untuk kalian. Ibuku membuatnya tadi sore"

"Oh ya?"

"Huum.. Ayahmu sudah tidur jadi aku simpan saja di dapur"

"Terima kasih" dua patah kata keluar dari mulut Farlan namun sangat berarti bagi Isabel.

"Hei, kau sedang apa?" tanya Isabel tatkala kertas putih di tangan Farlan membuatnya penasaran.

"Tidak ada"

Mendengar jawaban tak berkualitas Farlan, Isabel merebut kertas itu dari tangan Farlan lalu mengangkatnya tinggi-tinggi ke atas. Iris maroon-nya langsung menangkap sebuah sketsa wajah seorang perempuan di atas kertas putih tersebut.

"Berikan itu padaku! Aku sedang tidak ingin main-main!"

"Hahahaha.. Coba kau ambil sendiri kalau bisa" Isabel semakin senang menjahili Farlan.

"Terserahlah" Farlan duduk di tepi ranjang mengabaikan Isabel.

"Omong-omong, apakah ini Petra? Perempuan yang sering kau bicarakan padaku?" Isabel memberikan kertasnya kembali.

"Ya"

"Kenapa.. Kenapa kau menggambarnya?"

"Apakah harus ada alasannya?"

"Tentu saja. Tidak mungkin kau menggambarnya secara begitu saja, benar kan?"

Farlan terdiam sebentar, "Bukan urusanmu!" jawabnya sinis.

Isabel lalu duduk di sebelah Farlan, menatap pria pirang itu dalam-dalam. "Apa kau... Menyukainya?"

Sepersekian detik Farlan termenung memikirkan pertanyaan tetangganya itu. Mengagumi seseorang dalam diam itu menyesakkan, tetapi Farlan tidak ingin ada orang lain yang tahu mengenai perasaannya. Cukup dirinya yang memendam dan Tuhan saja yang tahu. Bagaimana pun juga, meski Isabel tahu kalau ia menyukai Petra, itu tak akan merubah apapun. Petra tetap tidak menganggapnya. Cukup dengan mengagumi saja. Layaknya mengagumi langit di sore hari. Indah, namun tak dapat dimiliki.

𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐘𝐨𝐮 𝐅𝐨𝐫𝐞𝐯𝐞𝐫Where stories live. Discover now