Bab 17

745 117 5
                                    

Kemuning pergi ke rumah Tara dengan penjagaan ketat padahal tujuannya ke sini Cuma untuk main dan juga mengobrol. Bibinya sendiri hanya mengeglengkan kepalanya lemah ketika tahu ada penjagaan ketat di sekitar rumah sederhananya. Namun kedatangan keponakannya untuk berkunjung lebih membahagiakannya.

“Kenapa kamu kemari tidak mengabari bibi. Harusnya bibi yang ke sana saja.”

Kalau begitu kejadiannya, Kemuning yang tak enak hati. Dia yang lebih muda, sebaiknya mengunjungi orang tua duluan. “Ada yang mau aku bicarakan bibi.”

“Ayo masuk.” Keduanya menaiki tangga untuk masuk ke rumah.

Di dalam Kemuning menceritakan kegundahan hatinya, soal lamaran Elang dan juga hutan tempat asalnya. Tara mengerti bahwa di umur Kemuning yang sekarang, gadis itu diserang kegundahan. Tak salah jika memilih bahagia. Nasib setiap Padma pasti berbeda, mungkin dia dan ibu Kemuning akan sial soal cinta tapi Kemuning tidak akan bernasib sama.

“Apa yang hatimu inginkan?”

“Aku...ingin menikah dan punya keluarga.” Sebab ia tahu hidup berdua dengan neneknya saja, betapa itu membosankan. “Tapi bagaimana hutan nanti.”

“Aku bisa menjaganya untukmu.”

“Bibi akan pindah ke sana. Meninggalkan kehidupan bibi di sini dan juga Esa.”

“Esa sudah terlalu besar untuk di urusi.” Ujar Tara sembari menuang teh. “Lagi pula menjaga hutan juga kewajibanku. Saat aku seumurmu aku kabur dari sana karena lelaki. Kamu lebih terhormat, tidak menjaga Hutan karena dinikahi. Aku juga menyukai Elang. Pria itu memperlakukanmu dengan  baik serta menjagamu, kamu juga mencintainya kan?” Kemuning tersipu malu di todong pertanyaan itu.

“Apa terlihat jelas?”

“Ada pria baik dan tampan yang ingin menikahimu lalu kenapa mempertimbangkan.” Walau Tara ragu dengan profesi Elang tapi ia yakin pria itu akan membahagiakan keponaknnya. Apa salahnya saling mencintai lalu hidup bersama dalam ikatan suci. Tuhan merestui, masak Tara menghalangi. “lagi pula hutan bisa di awasi dari jarak jauh juga.”

“Maksud bibi?”

“Setiap Padma di ajari untuk bertelepati dengan Pohon kehidupan.”

“Tapi aku belum pernah melakukannya. Nenek belum mengajariku.” Tara menghembuskan nafas pelan. Ibunya tak mengajari pada sang cucu karena terlalu yakin jika Kemuning tidak akan pergi ke luar hutan. “Apa bibi bisa?”

“Dulu bisa tapi karena terlalu lama meninggalkan hutan kemampuan itu memudar. Aku harus kembali ke pohon kehidupan lalu menautkan batinku di sana. Setiap Padma mampu melakukan itu. Apa selama kamu di kota, kamu pernah memimpikan tentang pohon kehidupan.”

Kemuning ragu menjawab, selama ia di sini tidurnya cuma diisi mimpi buruk. Mimpi tentang neneknya, tentang tembakan itu dan tentang senyum mengerikan seorang wanita. “Tidak. Aku tidak memimpikan apa pun.”

“Hutan amsih aman dan terjaga. Tak perlu ada yang dikhawatirkan. Kalau kamu mau menikah, silahkan saja tapi jika nanti kamu punya anak perempuan. Anak itu otomatis akan menggantikanku sebagai penjaga hutan. Sebaiknya kamu membuat anak banyak-banyak,” ujar Tara sembari tertawa.

“Bibi, kenapa anak perempuan? Kenapa bukan anak laki-laki?”

“Di garis keturunan kita anak perempuan yang punya kemampuan seorang Padma sedang anak lelaki akan terlahir sebagai manusia biasa.” Tara tidak bisa mengatakan jika anak lelaki seorang Padma akan berfisik lemah dan tidak dapat hidup lama.

Padma kemuning (healing) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang