28. Rencana Lain

5.1K 563 98
                                    

SOREEE!!!
.
.
.

Jeffriyan kecelakaan.

Tubuh Mikaya gemetar ketakutan mendengar itu. Lantas dia menyuruh Jendra agar membawanya ke rumah sakit tempat Jeffriyan berada. Ingin cepat melihat kondisi Jeffriyan, Mikaya berulang kali meminta Jendra menaikkan kecepatan mobilnya. Pikiran Mikaya tidak bisa tenang, segudang pertanyaan menghinggapinya. Apakah Jeffriyan baik-baik saja? Apa lelaki itu kritis? Atau yang paling menakutkan, Jeffriyan tidak selamat. Tanpa sadar Mikaya menitikan air matanya. Dia sungguh takut apabila nasib Jeffriyan akan sama seperti mendiang orang tuanya, meninggal dalam keadaan tragis. Mikaya tak sanggup membayangkan jika itu terjadi.

“Jangan nangis,” ujar Jendra. Dia memperhatikan kegelisahan Mikaya sejak tadi.

Mikaya menyeka air matanya. “Jeffriyan bakal baik-baik aja 'kan Mas?”

Tiga puluh menit kemudian, mobil Jendra sampai di parkiran rumah sakit. Mikaya bergegas turun, mempercepat langkahnya mencari keberadaan Jeffriyan. Saking tidak memikirkan keadaan sekitar dan kondisinya yang tengah hamil muda, Mikaya nyaris menabrak brankar yang melaju cepat karena membawa pasien gawat darurat, jika Jendra tidak sigap menarik tangan Mikaya. “Lo gak apa-apa?” tanya Jendra khawatir.

Mikaya menggeleng. Dia menepis tangan Jendra, lalu melanjutkan langkahnya. Jendra menghela napas berat. Berpikir jika ketulusan Mikaya tak layak untuk Jeffriyan dapatkan.

Menemukan ruangan yang sudah diberitahu oleh suster sebelumnya, Mikaya masuk ke dalam tanpa mengetuk pintu. Dia menemukan Jeffriyan yang duduk di atas brankar dengan dua polisi yang sepertinya sedang mengajukan pertanyaan pada Jeffriyan. “Mas?” Panggilan Mikaya menghentikan kegiatan ketiga lelaki tersebut.

“Mikaya?”

Mikaya menghampiri Jeffriyan, memastikan keadaan mantan suaminya. “Kamu gak apa-apa 'kan?” tanya Mikaya. Tidak menghiraukan keberadaan polisi di kanan dan kirinya.

“Mas gak apa-apa,” balas Jeffriyan.

Mikaya menghela napas lega. Dia lantas memeluk Jeffriyan erat, air matanya kembali turun. Lega, benar-benar lega saat tahu jika kondisi Jeffriyan baik-baik saja. “Aku takut kamu kenapa-napa,” tutur Mikaya.

Jeffriyan membalas pelukan Mikaya. “Mas gak apa-apa Kay, cuma memar sedikit dibagian bahu. Jadi berhenti nangis ya?” Jeffriyan mengurai pelukannya lebih dulu, dia menyeka air mata Mikaya menggunakan ibu jarinya. Jeffriyan tersenyum. “Liat mata Mas, baik-baik aja 'kan? Mas juga masih bisa senyum. Kamu gak perlu khawatir oke?”

Mikaya mengangguk.

“Permisi Pak, bisa kita lanjutkan mengenai kasus kecelakaan lalu lintas ini?” Seorang polisi bertanya.

“Biar sama saya saja Pak.” Jendra berujar.

“Tapi kami perlu bertanya pada Pak Jeffriyan.”

“Ya saya paham.” Jendra mendekat pada polisi tersebut. Dia berbisik. “Kita bisa selesaikan masalah ini baik-baik bukan?”

“Mari, kita bicarakan ini di luar,” balas polisi itu. Jendra, dan kedua polisi lainnya keluar dari ruangan Jeffriyan. Menyisakan kedua insan yang pernah terikat dalam tali pernikahan.

“Kay.” Jeffriyan menggenggam tangan Mikaya. “Maaf ya, Mas gagal menepati janji. Mas gak bisa datang tepat waktu ke restoran dan buat kamu menunggu lama di sana.”

TARUHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang