54. Mikaya dan Salahnya

7.2K 668 67
                                    

.
.
.


Dalam kamar, Nia menunggu dengan perasaan harap-harap cemas. Enam tahun tak berjumpa, pertemuan ini akhirnya tiba. Pertemuan Nia, Mikaya, Sina dan Saki. Nia tidak tahu harus berekspresi bagaimana ketika berjumpa Mikaya dan cucu-cucunya nanti, yang pasti Nia akan memeluk mereka seerat-eratnya, tak mau membiarkan Mikaya pergi lagi. Saat langkah kecil itu masuk ke dalam kamarnya, Nia di kursi rodanya tersenyum haru, melihat Jeffriyan menuntun Sina dan Saki di tangan kanan kirinya. Nia tak menyangka, kedua cucu yang sudah ditunggunya semenjak masih dalam kandungan Mikaya, sudah sebesar sekarang. “Pa, mereka cucu kita,” kata Nia pada sang suami yang berdiri di belakang kursinya.

Jordan tersenyum. “Iya Ma, kita seperti liat Jeffriyan dan Mikaya di mereka.”

Tiba di hadapan Nia, Jeffriyan berlutut, mensejajarkan tingginya dengan si kembar. “Nah, ini Nenek dan Kakeknya Sina sama Saki. Namanya Nenek Nia dan Kak—”

“Opa,” sela Jordan bangga. “Opa Jordan.”

Jeffriyan tertawa kecil. “Iya Opa Jordan. Ayo kalian kenalin diri juga ke Nenek sama Opa.”

“Saki dulu Saki dulu!” kata Saki penuh semangat. Dia senang mengetahui fakta jika memiliki Nenek dan Kakek selain Eyang di desa. “Nenek, Opa, nama aku Saki. Saki Pra...” ucapan Saki menggantung, lupa nama belakangnya sendiri.

Sina geleng-geleng kepala. “Pradipta, Saki.”

“Oh iya!” Saki tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang tak lengkap. “Terima kasih Sina, Saki lupa.”

Semua orang di kamar dibuat tertawa dengan tingkah Saki. Nia tanpa sadar meneteskan air matanya. Baginya, tak ada hari yang lebih membahagiakan dari hari ini. “Nenek, Opa, aku Sina Pranita. Sina lahir lebih awal dari Saki, jadi Sina kakak, Saki adik,” tutur Sina.

“Tapi Saki gak mau panggil Sina kakak, soalnya Saki gak mau jadi adik,” celoteh Saki.

Jeffriyan mengacak rambut Saki gemas. “Pinternya anak-anak Mommy Mikaya,” pujinya.

“Sina, Saki, Nenek boleh peluk kalian gak?” tanya Nia. Sina dan Saki mengangguk kompak. Lantas Nia merengkuh kedua cucunya ke dalam pelukannya. Air mata Nia turun semakin deras, Jeffriyan dan Jordan yang melihatnyapun tak kuasa menahan air mata. “Nenek gak pernah gendong kalian, Nenek gak pernah liat muka kalian saat masih bayi, tapi rasa sayang Nenek begitu besar sama kalian berdua. Maafin Nenek ya Sina, Saki.”

Sementara di depan kamar Nia, Mikaya menangis diam-diam. Tak kuasa melihat Nia yang amat merindukan cucu kembarnya. Mikaya merasa bersalah pernah memisahkan dan berniat tidak akan memperkenalkan Sina dan Saki pada kakek nenek mereka. “Kamu gak masuk Kay?” Mikaya menghapus air matanya, dia menoleh pada Joana yang baru saja bertanya. “Mama gak cuma pengen liat cucunya, tapi kamu juga.”

“Iya Kak.”

Setelah menenangkan diri dan mengumpulkan keberanian di toilet, Mikaya melangkah masuk ke dalam kamar orang tua Jeffriyan. Selama apapun Mikaya mengumpulkan keberanian untuk bertemu Nia dan Jordan, sejujurnya dia tidak pernah berani dan siap. Mikaya menyadari betapa jahatnya dia pada Nia dan Jordan yang sudah menjaganya bak orang tua kandung sendiri. Mikaya mengkhianati mereka dengan meninggalkan mereka tanpa kabar, lalu setelah enam tahun Mikaya tiba-tiba kembali tanpa memberi kabar pula. “Ma...” lirih Mikaya. Dia bertanya-tanya dalam hati apakah dirinya masih pantas memanggil Nia dengan sebutan tersebut.

TARUHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang