41. Lagi dan Lagi

9.4K 762 79
                                    

SELAMAT MALAM MINGGU EPRIBADIH
.
.
.

Kedua orang tuanya meninggal, ditipu cinta palsu bertahun-tahun, pernikahannya hancur berantakan dalam satu hari, pembunuh orang tuanya dibebaskan dengan alasan kurangnya bukti, hampir keguguran, Mikaya sadari hidupnya tidak pernah berjalan sesuai keinginannya. Satu persatu hunusan pedang melukai dan mengoyak kehidupannya tanpa berhenti. Mikaya tak mengenal bahagia, Mikaya tak mengenal kebebasan. Setiap detik, menit, jam yang dilaluinya seakan mencekiknya. Kekayaan yang Mikaya punya tak bisa membuatnya tersenyum lebar. Dia hanya menatap ke arah jendela dengan tatapan kosong. Terhitung sudah dua hari Mikaya berada di rumah sakit, selama itu pula saat matanya terbuka, Mikaya tak pernah absen menatap keluar jendela ruang rawatnya, berharap kehidupannya akan secerah matahari yang menyinari bentala.

“Kay, makan siang dulu yuk.” Masih setia menemani Mikaya, Nia mengusap surai hitam Mikaya, lalu mengecup puncak kepala yang sudah dia anggap bak putri kecilnya. Mikaya tak memberikan respon apa-apa. Dia sudah seperti ini sejak kemarin, hanya diam tanpa berkata sedikitpun. Ketika Nia akan menyuapinya, Mikaya memalingkan wajahnya. Wanita paruh baya itu menarik napasnya dalam, dan menghembuskannya. “Kamu belum makan apa-apa dari pagi. Kasian anak-anak kamu di dalam sana kelaperan.”

Mikaya masih diam. Arah pandangnya memperhatikan burung yang hinggap di ranting pohon pinus.

“Kay?”

“Seberapapun ketinggian terbangnya, burung kalau jatuh tetap ke tanah.” Akhirnya Mikaya bersuara meski belum mau menatap lawan bicaranya. “Sama kayak aku, sebesar apapun keinginan aku untuk hidup bahagia, itu gak akan pernah terjadi.”

“Tapi burung gak bisa terbang sebelum mengepakkan sayapnya. Sama kayak manusia, kita gak akan tau gimana kedepannya kalau belum mencoba nak. Kamu, kita, masih punya waktu untuk mencoba kembali, gak menutup kemungkinan hidup kita akan berubah lima detik dari sekarang.”

Mikaya menghela napasnya dalam. “Boleh tinggalin aku sendiri Ma?”

Nia tak langsung menjawab. Dia enggan meninggalkan Mikaya sendiri. Tapi Nia tahu, Mikayapun butuh waktu agar bisa menjernihkan pikirannya. “Kalau ada apa-apa langsung panggil Mama, Mama tunggu di luar.” Nia melangkah pergi, meninggalkan Mikaya seorang diri. Buliran air itu mendesak lagi ingin keluar dari pelupuk mata Mikaya. Tak bisa menahannya, Mikaya membiarkannya berjatuhan. Tetesnya membasahi pakaian khas pasien rumah sakit yang Mikaya kenakan. Tidak ada pelampiasan lain selain menangis bagi Mikaya. Menangis satu-satunya cara membuatnya bisa bernapas.

Dari celah pintu, Nia mengintip, ikut meneteskan air matanya melihat keadaan Mikaya. Nia tidak tahu lagi harus berbuat apa agar Mikaya bisa bangkit, memiliki semangat hidup, atau setidaknya untuk makan. “Ma.” Nia menoleh ke belakang kala suara berat memanggilnya.

“Ngapain lagi kamu ke sini Jeffriyan?” tanya Nia kesal mendapati si bungsu datang kembali ke rumah sakit.

“Mikaya ada di dalam?” tanya Jeffriyan.

“Jeff, Mama udah bilang, berhenti temuin Mikaya.”

“Aku mau minta maaf.”

“Minta maaf? Buat kesalahan kamu yang mana? Kesalahan kamu udah banyak banget, saking banyaknya kata maaf yang keluar dari mulut kamu itu udah gak ada artinya.” Jeffriyan merasa tertampar mendengarnya. Disadari olehnya jika terlalu banyak kesalahan yang telah diperbuatnya pada Mikaya, tak hanya satu kali, namun berkali-kali sampai Jeffriyan tidak ingat pernah menyakiti Mikaya dengan cara apa, di mana, dan kapan. “Gak perlu minta maaf sama Mikaya kalau ujung-ujungnya kamu bakal nyakitin dia lagi.”

TARUHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang