38. Gak Punya Daddy

10.3K 770 125
                                    

Malaaammm. Kangen gak?
.
.
.

Sebuah kamar berdinding putih itu kini tampak gelap gulita. Gorden tertutup rapat, lampu tak menunjukkan cahayanya. Hanya suara botol kaca yang beradu dengan lowball glass yang menjadi penanda jika masih ada kehidupan di sana. Lelaki berkemeja kusut dengan tatapan mata sayu itu kembali menenggak alkoholnya di sudut ruangan. Jeffriyan tidak tahu sudah berapa banyak dia minum, yang jelas dia sudah berdiam diri di sana sejak empat jam lalu. Tepat setelah Mikaya meninggalkan rumah sebelah. Dalam kesendiriannya, Jeffriyan tiba-tiba tertawa. Merasa lucu pada dirinya sendiri yang tidak tahu mengapa saat ini merasa kosong.

“Jeff! Jeff!” Gedoran pintu terdengar, Jendra di luar memanggil adiknya tanpa henti. “Jeffriyan!”

Jeffriyan tidak beranjak dari tempatnya, dia memilih diam tanpa perduli dengan suara benturan di depan sana. Jeffriyan yakin, suara itu berasal dari Jendra yang mencoba mendobrak pintu. “Jeffriyan!” Jendra berhasil masuk ke dalam kamar adiknya. Napas Jendra naik turun dengan tempo cepat. Jendra menyalakan lampu kamar, kemudian menghampiri Jeffriyan, menarik kerah kemeja sang adik. “Mana Mikaya?” tanya Jendra.

“Gak tau,” sahut Jeffriyan. Disingkirkannya tangan Jendra dari kemejanya, dan Jeffriyan kembali menenggak minuman kerasnya. Kesal dengan jawaban dan sikap Jeffriyan, Jendra merebut botol minuman keras dari tangan Jeffriyan lantas melemparnya ke tembok sampai hancur berkeping-keping. Jeffriyan tidak menunjukkan tanda-tanda kemarahan saat Jendra melakukannya. Jeffriyan hanya memandangi pecahan dari botol kaca itu. Tiba-tiba saja Jeffriyan teringat dengan janjinya pada Mikaya beberapa waktu lalu. Jeffriyan berjanji tidak akan lagi menyentuh minuman keras, tidak akan meminumnya karena Mikaya ingin Jeffriyan hidup panjang agar bisa melihat anak-anaknya tumbuh dewasa.

“Lo gak bohong 'kan Jeff?” tanya Jendra.

“Kalau gue tau, gue gak bakal di sini.” Jeffriyan berdiri, masuk ke dalam kamar mandi dan mengunci diri di sana.

Jendra berdecak. Dia memukul tembok dan berteriak sebagai bentuk ungkapan kekesalannya, bukan lagi kesal pada Jeffriyan, melainkan dirinya sendiri. Jendra menyesal belum sempat meminta maaf pada Mikaya, tapi wanita itu sudah lebih dulu pergi.

👀

Matahari sangat terik di luar. Panasnya mengundang peluh. Tangan-tangan para pedagang asongan itu mengibas-ngibas di udara, berharap panasnya berkurang. Seharusnya Mikaya di kamarnya yang berada di lantai sepuluh, lengkap dengan dua pendingin ruangan, tidak merasakan panas seperti orang-orang di luaran sana. Namun pada kenyataannya, Mikaya tidak merasakan kesejukan sedikitpun di sekitarnya. Hanya ada panas, kecewa, dan kesedihan dalam hatinya. Mikaya memandangi langit biru melalui jendela besar di kamarnya. Dia duduk di sofa tunggal sambil mengusap perut buncitnya. “Kay?” Mikaya menoleh, melihat wanita paruh baya yang sudah Mikaya anggap bak orang tua sendiri itu berdiri di belakang sofa dan mengusap pundaknya. “Gak apa-apa 'kan kita di sini dulu?” tanya Nia.

Mikaya tersenyum tipis. “Iya Ma. Lagipula aku gak mau ninggalin Jakarta sebelum sidangnya Om Bara. Kita di hotel ini aja.” Mikaya belum pergi jauh, dia tidak mau meninggalkan kasus yang menimpa orang tuanya begitu saja. Meski dalam hati terkecilnya Mikaya sangat ingin pergi jauh dari kota ini agar Jeffriyan tidak bisa menemukannya. Namun Mikaya harus bertahan, demi mendiang orang tuanya.

Nia menganggukan kepala paham. “Kamu gak mau tidur? Dari semalam kamu lebih banyak bengong, gak baik lho Kay.” Nia tidak tega melihat kondisi Mikaya yang nampak linglung kebingungan sejak semalam. Mikaya tak banyak berbicara dan beberapa kali Nia memergoki putrinya sedang menangis. Nia khawatir, apabila kondisi Mikaya terus-menerus seperti ini akan berdampak buruk pada kesehatan Mikaya sendiri dan calon anak-anak Mikaya.

TARUHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang