44. Shanghai

7.5K 704 80
                                    

MALAM SEMUAAAAA
.
.
.

Satu minggu Jeffriyan lalui dengan penuh kegelisahan. Tidak pernah sekalipun dia tertidur nyenyak dalam rentang waktu tersebut. Makanan enak yang dibuat oleh Ibunya tidak menarik selera makan Jeffriyan. Dia hanya makan satu sampai dua suapan, kemudian kembali pergi meninggalkan rumah. Tiap-tiap jalan besar sampai gang kecil Jeffriyan sambangi. Selebaran, media sosial, sampai radio Jeffriyan manfaatkan sebagai upaya pencarian seseorang yang tak lain adalah mantan istrinya. Pencarian selama satu minggu belum memberikan hasil apa-apa, Mikaya tidak ada kabar sama sekali, batang hidungnya tak terlihat, wanita itu bak hilang ditelan bumi. Jejaknya tak terendus sedikitpun. Pihak kepolisan yang juga turun tangan, belum bisa membagikan kabar yang menenangkan.

Kondisi ini sangat mengkhawatirkan Jeffriyan, mengingat Mikaya pergi tanpa perbekalan yang siap. “Mbak pernah liat orang ini?” Jeffriyan bertanya pada seorang pejalan kaki seraya menunjukkan foto Mikaya. Pejalan itu menggeleng, lantas meninggalkan Jeffriyan pergi. Jeffriyan menarik napasnya dalam dan membuangnya. Peluhnya menetes untuk kesekian kalinya, wajahnya yang memerah karena teriknya matahari, tak mematahkan semangat Jeffriyan melanjutkan pencarian.

“Jeff!” Jeffriyan menoleh, menemukan Erlangga tengah melambai ke arahnya. Erlangga berlari menghampiri sang sahabat. “Ngapain lo di sini?” tanya Erlangga. Tapi detik berikutnya dia paham alasan Jeffriyan berada di sini ketika melihat foto Mikaya yang dipegang Jeffriyan.

“Belum ada hasil Jeff?”

Jeffriyan menggeleng. “Lo ada keperluan di sini?” tanyanya. Erlangga tak langsung menjawab, dirinya mendadak merasa tidak enak pada Jeffriyan jika harus berkata jujur. “Ga?”

“Gue mau ke studio itu.” Erlangga menunjuk studio foto yang jaraknya tak jauh dari tempat mereka berdiri.

“Buat foto?”

“Iya. Eum gue sama Meru diminta Jey buat ikut foto prewednya dia dan Medina. Sorry Jeff.”

Jeffriyan tersenyum tipis. “Gak perlu minta maaf Ga.” Berakhirnya hubungan dia dan Medina telah Jeffriyan terima. Jeffriyan sadari tak ada sakit ketika dia melepaskan Medina, hanya ada kecewa pada Jey yang Jeffriyan tak pernah sangka akan menusuknya dari belakang. Akibat ini pula hubungan Jeffriyan dan Jey merenggang. Jeffriyan keluar dari semua grup chat yang melibatkan Jey, kerja sama perusahaannya dan Jey ikut terputus, satu-satunya yang masih menghubungkan mereka sekarang adalah empat apartemen pemberian Jey. Dan Jeffriyan berniat mengembalikan apartemen-apartemen mewah tersebut pada Jey. Bukan hanya apartemen, tetapi semua aset hasil taruhan akan Jeffriyan kembalikan pada sahabat-sahabatnya. Jeffriyan merasa sangat berdosa pada Mikaya telah menyakiti wanita itu demi harta tak berharga. “Ga, uang yang pernah lo pake taruhan, nanti malem gue balikin ya.”

“Gak usah lah Jeff, masalah taruhan itu juga udah berlalu.”

“Soal taruhan emang berlalu, tapi enggak sama rasa bersalah gue ke Mikaya. Gue cabut dulu sob.” Jeffriyan menepuk pundak Erlangga sebelum akhirnya melangkah pergi. Tak sengaja ketika Jeffriyan akan masuk ke dalam mobilnya, dia berpapasan dengan Jey dan Medina. “Kalau lo ada waktu luang, temuin gue atau pengacara gue, kita urus soal apartemen,” pesan Jeffriyan pada Jey.

“Gak perlu, anggap aja apartemen itu belas kasihan gue karena lo kehilangan Mikaya dan Medina sekaligus.” Jey tertawa remeh.

Jeffriyan mengepalkan tangannya, buku-buku jarinya terlihat jelas. Uratnya menegang, dia hampir memukul Jey jika dering ponselnya tidak berbunyi. Jeffriyan masuk ke dalam mobilnya, di angkatnya panggilan tersebut setelah mengatur napas. “Serius? Lo dimana sekarang Jen?”

“Oke-oke gue ke sana.”

Jeffriyan mematikan sambungan teleponnya, kemudian menancapkan gas mobil menuju kantor polisi. Dia baru mendapat telepon dari Jendra, jika pihak kepolisian menemukan rekaman cctv bandara yang menangkap sosok Mikaya. Saat Jeffriyan melihat rekaman tersebut dengan mata kepalanya sendiri, dia yakin seratus persen itu adalah Mikaya. Hanya saja pakaian yang dikenakan Mikaya di bandara, berbeda dengan pakaian yang terakhir kali Jeffriyan lihat di rumah sakit. “Rekaman ini tertangkap satu hari setelah Ibu Mikaya pergi dari rumah sakit Pak,” jelas seorang polisi. “Dan kami telah mencari informasi lebih lanjut, bahwa Ibu Mikaya membeli tiket ke Shanghai.”

“Jadi maksud Bapak, Mikaya pergi ke Shanghai di hari itu juga?” tanya Jeffriyan.

“Benar Pak.”

Tubuh Jeffriyan melemas, Jendra sigap menahan tubuh sang adik. Jeffriyan merasa kesal, terlambat menyadari jika Mikaya bisa saja kabur ke luar negeri. “Jen, tolong lo urusin tiket pesawat ke Shanghai, kita harus ke sana cari Mikaya. Apapun bakal gue lakuin supaya Mikaya ketemu.”

Dan di hari itu juga Jeffriyan beserta Jendra pergi menuju Shanghai. Jeffriyan tak tahu ke mana tujuan selanjutnya setibanya di Shanghai, negara ini terlalu besar untuk Jeffriyan yang asing. Hanya bermodalkan nekat, Jeffriyan berkeliling kota Shanghai. Tubuhnya yang lelah Jeffriyan lawan demi menemukan Mikaya. Namun bagai mencari jarum ditumpukan jerami, Jendra merasa hal ini tidak ada gunanya. “Jeff gue mau ngomong,” ujar Jendra, menghentikan langkah Jeffriyan. “Bukannya gue mau menyinggung lo, tapi kalau kita nyari Mikaya tanpa tau harus ke mana itu bakal makan waktu lama. Kota ini besar, kita orang asing, mungkin gak kita cari Mikaya tanpa bantuan orang lain? Ini udah seminggu berlalu sejak Mikaya pergi ke Shanghai, dia pasti udah pergi ke mana-mana.”

“Gue tau gimana menyesalnya lo ke Mikaya, gue tau lo merasa bersalah banget sama dia, tapi ini cara yang kurang efektif buat nemuin Mikaya,” tutur Jendra.

Jeffriyan mengusap wajahnya gusar. Perkataan Jendra ada benarnya. “Gue harus gimana lagi Jen? Gue cuma mau Mikaya ketemu.” Suara Jeffriyan bergetar. Air matanya menetes. “Gue tau ini terlambat, tapi apa Mikaya bener-bener gak bisa kembali lagi?”

Sementara dalam kamar berdinding kayu itu seorang wanita berambut hitam panjang, menatap lurus keluar jendela. Gunung yang menjulang, sawah yang menghampar, suara jangkrik mengiring dalam kesunyian, sedikit menenangkannya. Semerbak teh melati yang mendadak, mengalihkan atensi wanita itu ke arah pintu kamar.

“Mikaya, Ibu bawain teh melati buat kamu.”

Mikaya, dia wanita yang sejak tadi berdiam diri di dalam kamar. Mikaya tersenyum tipis ketika seorang wanita paruh baya mendekatinya. “Mumpung hangat, ayo diminum.”

Mikaya mengambil cangkir tehnya dari atas nampan. “Makasih Ibu,” ucap Mikaya, dia lantas menyeruputnya.

Wanita paruh baya yang dipanggil Ibu itu membelai rambut Mikaya. “Ibu mau peluk Mikaya boleh?” Mikaya meletakkan cangkirnya ke atas meja. Dia mengangguk, mengizinkan Ibu memeluknya. Saat semua orang sibuk mencari dan mengkhawatirkannya, Mikaya di sini, menangis dalam pelukan seorang wanita yang tidak pernah Mikaya jumpai selama empat belas tahun, dan hari ini mereka bertemu kembali karena kejadian tak terduga. “Harusnya kamu ke sini dari kemarin-kemarin, biar Ibu bisa peluk kamu kalau kamu nangis gini.”

“Ibu udah di ceritain sama Mas ya?” tanya Mikaya di sela tangisnya.

“Iya.” Air mata Ibu ikut menetes. “Kurang baik apa kamu Kay sampai diperlakuin kayak gini sama mantan suami kamu. Sabar ya.”











JANGAN LUPA KOMENNYA!!!!
Btw "mas" siapa hayoo, Mikaya juga dimana hayo...

TARUHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang